Kanal24, Malang – “Jangan dibuang, siapa tahu nanti kepakai.”, kalimat ini mungkin terdengar sangat familiar. Banyak orang sering kali menimbun barang dengan alasan suatu hari akan berguna, padahal kenyataannya barang tersebut tidak pernah tersentuh lagi. Perilaku inilah yang dikenal sebagai hoarding.
Dari Kardus HP hingga Baju Kuliah
Jika kita perhatikan, hampir setiap rumah menyimpan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak relevan. Misalnya, laci penuh dengan remote televisi lama yang tak lagi berfungsi, atau kardus ponsel yang bahkan ponselnya sudah lama hilang. Tidak jarang juga lemari dipenuhi baju-baju masa kuliah dengan harapan, “kalau badan balik kayak dulu, pasti bisa dipakai lagi.” Sayangnya, yang kembali hanyalah kenangan, bukan ukurannya.
Baca juga:
Sigma Male: Misterius, Mandiri, dan Berpengaruh

Fenomena ini ternyata cukup umum. Banyak orang masih menyimpan:
- Kabel charger tanpa kepala, dengan harapan suatu saat bisa “menemukan jodohnya.”
- Gantungan kunci promosi yang jumlahnya melebihi pintu di rumah.
- Gelas souvenir pernikahan yang jika dipakai semua, rumah bisa disangka warung kopi.
Dalam psikologi, kebiasaan ini disebut hoarding.
Apa Itu Hoarding?
Menurut American Psychiatric Association (APA), hoarding disorder adalah kesulitan terus-menerus untuk membuang barang, meskipun barang tersebut sudah rusak, tidak berguna, atau hanya memenuhi ruangan (APA, 2013). Kondisi ini berbeda dengan koleksi yang rapi dan tematik. Hoarder biasanya berpikir, “simpan saja dulu, siapa tahu nanti berguna,” meski peluang penggunaannya sangat kecil.
Mengapa Terjadi?
Ada beberapa alasan mengapa perilaku ini muncul:
- Warisan Mindset Hemat
Generasi terdahulu terbiasa menyimpan barang karena akses belanja terbatas atau harga barang mahal. Kebiasaan ini terbawa hingga sekarang, meski situasi sudah berbeda.
- Takut Menyesal
Pikiran seperti “kalau nanti kepakai gimana?” membuat barang bertahan hingga bertahun-tahun.
- Emosi & Kenangan
Barang sering kali dianggap pengikat momen, sehingga membuangnya terasa seperti menghapus memori.
- Kecemasan Berlebihan
Rasa takut salah membuang barang membuat semua benda dianggap penting, meskipun kenyataannya tidak.
Menurut Mayo Clinic, hoarding biasanya berakar pada kecemasan, perfeksionisme, dan kesulitan mengambil keputusan. Bahkan, beberapa penelitian menemukan adanya keterkaitan dengan depresi serta gangguan obsesif kompulsif (OCD).
Dampaknya dalam Kehidupan
Rumah yang seharusnya menjadi tempat istirahat justru bisa berubah seperti gudang. Barang-barang yang “disimpan agar awet” malah lapuk, berjamur, atau rusak.
Beberapa dampak nyata dari hoarding menurut Healthline dan WebMD antara lain:
- Mengganggu kesehatan fisik: Tumpukan barang bisa jadi sarang debu, jamur, bahkan hama.
- Menyulitkan aktivitas sehari-hari: Mencari barang jadi butuh waktu lama karena harus mengobrak-abrik tumpukan.
- Meningkatkan risiko keselamatan: Barang menumpuk bisa menghalangi jalan evakuasi, bahkan berpotensi menyebabkan kebakaran.
- Menimbulkan masalah sosial: Hoarder sering merasa malu mengundang tamu karena kondisi rumah yang berantakan.
Bagaimana Mengatasinya?
Mengurangi hoarding memang tidak mudah, tapi ada beberapa cara yang bisa dicoba:
- Foto Barang Kenangan
Jika sulit membuang barang karena nilai emosional, simpan memorinya lewat foto. Dengan begitu, kenangan tetap ada meski barang fisiknya tidak.
- Donasikan
Membayangkan barang itu bermanfaat di tangan orang lain bisa lebih menenangkan daripada membiarkannya menumpuk.
- Mulai dari Tempat Kecil
Rapikan dari laci, meja, atau rak kecil terlebih dahulu. Proses bertahap ini melatih diri untuk melepaskan barang yang tidak perlu.
- Terapkan Aturan “Satu Masuk, Satu Keluar”
Setiap kali membeli barang baru, lepaskan satu barang lama. Cara ini membantu mencegah penumpukan.
- Cari Bantuan Profesional
Jika keterikatan pada barang sudah mengganggu hidup, konsultasi dengan psikolog atau psikiater bisa menjadi pilihan terbaik. Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy) terbukti efektif membantu penderita hoarding disorder.
Baca juga:
Cardio vs Strength: Mana yang Lebih Efektif?
Hoarding di Era Digital
Menariknya, hoarding tidak hanya terjadi di dunia nyata. Banyak orang tanpa sadar juga menjadi digital hoarder. Coba cek galeri ponsel Anda: ada ratusan foto buram yang tidak pernah dihapus, atau 10 foto dengan pose sama? Atau mungkin folder download di laptop penuh file yang tidak pernah dibuka? Fenomena ini menunjukkan bahwa hoarding bisa mengikuti perkembangan zaman, bahkan merambah ke ranah digital.
Menurut Dr. Christiana Bratiotis, peneliti hoarding dari University of British Columbia, hoarding bukan sekadar soal malas atau tidak peduli. Ini merupakan gangguan berbasis kecemasan yang membutuhkan pemahaman dan empati. Menghakimi atau meremehkan hanya akan membuat penderita semakin terpuruk. Menyadari bahwa perilaku ini bisa dialami siapa saja adalah langkah awal untuk menghadapinya. Dengan strategi yang tepat, kebiasaan menimbun bisa dikurangi sehingga rumah, pikiran, dan hidup menjadi lebih lega. (han)