Tingginya angka kebutaan di Indonesia masih menjadi masalah yang serius. Menurut WHO, kebutaan didefinisikan sebagai penglihatan atau visus <3/60, yang artinya obyek yang dapat dilihat oleh individu yang buta pada jarak 3 meter yang oleh individu normal obyek tersebut terlihat pada jarak 60 meter. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013, prevalensi kebutaan di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 0,4 % dari seluruh populasi. Kebutaan bisa disebabkan oleh berbagai macam kelainan mulai dari kelainan refraksi yang terlambat dikoreksi menggunakan kaca mata sampai dengan kerusakan saraf optikus sebagai pengirim sinyal ke otak yang kemudian akan menginterpretasikan obyek yang terlihat oleh mata menjadi sebuah gambar. Penyebab kebutaan tertinggi di Indonesia adalah katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,18%), kelainan retina (0,13%) dan sisanya adalah karena kelainan yang lain. Pada sebagian besar kasus, kebutaan diawali dengan penglihatan yang kabur.
Banyak kasus kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah, misalnya kebutaan karena kelainan refraksi. Apabila kelainan refraksi dapat ditemukan pada usia sebelum 12 tahun, yang merupakan periode kritis perkembangan penglihatan, pemberian kaca mata dapat membantu penglihatan menjadi normal. Namun pada beberapa kasus kelainan refraksi yang tinggi, apabila pemberian kaca mata setelah usia 1 tahun tidak terlalu banyak membantu sehingga seorang individu dapat jatuh pada keadaan kebutaan. Dengan demikian diperlukan kewaspadaan dari orang tua tentang keadaan penglihatan putra putrinya agar keadaan kebutaan karena kelainan refraksi ini dapat dihindari. Operasi pada penderita katarak, dengan tujuan untuk mengganti lensa yang keruh dengan lensa tanam baru, penglihatan akan kembali pulih apabila tidak didapatkan gangguan atau kelainan pada struktur mata yang lain.
Kasus lain yang selama ini sering datang pada dokter mata dalam keadaan terlambat adalah kebutaan karena glaukoma. Glaukoma sendiri adalah suatu kerusakan saraf optik karena peningkatan tekanan bola mata. Pada glaukoma tipe sudut terbuka, kerusakan saraf optik yang terjadi bersifat kronik progresif, artinya penderita tidak akan tiba-tiba menjadi buta akan tetapi pada tahap awal hanya akan merasakan kabur yang semakin lama semakin berat. Pada tahap ini apabila seorang individu menyadari adanya penurunan tajam penglihatan dan segera memeriksakan diri ke dokter, kebutaan dapat dicegah karena tekanan bola mata akan terjaga dengan pengobatan dan kontrol yang teratur.
Kebutaan lain yang dapat dicegah adalah kebutaan yang merupakan komplikasi dari penyakit sistemik tubuh, seperti Hipertensi dan Diabetes Melitus. Penyakit hipertensi akan merusak pembuluh darah retina. Retina adalah jaringan saraf mata di bagian belakang mata yang merupakan reseptor atau penangkap cahaya. Cahaya yang diterima mata akan difokuskan ke retina dan disalurkan ke otak melalui saraf optik. Penglihatan yang kabur karena kelainan pada retina dan saraf optik sangat berbeda dengan kasus refraksi maupun katarak, dalam hal ini kelainan refraksi dapat diperbaiki dengan penggunaan kaca mata, sedangkan lensa yang mengalami katarak dapat diganti dengan lensa tanam baru yang jernih. Kelainan pada retina dan saraf optik seringkali akan menyebabkan gangguan penglihatan yang permanen yang akhirnya membuat pasien menjadi buta.
Ketika tekanan darah kita tinggi, dinding pembuluh darah di retina akan menebal, lumen nya akan menyempit sehingga akan mengurangi suplai darah ke retina, seiring dengan berjalannya waktu retina akan rusak dan pada akhirnya akan menyebabkan kebutaan. Sama halnya pada diabetes melitus, kadar gula yang tinggi pada penderita diabetes meneybabkan penyumbatan pembuluh darah yang menyuplai nutrisi pada retina sehingga retina mencoba melakukan kompensasi dengan menumbuhkan pembuluh darah baru, akan tetapi sifat dari pembuluh darah baru ini adalah mudah bocor sehingga akan semakin memperparah kerusakan retina. Masalah yang harus diperhatikan pada kasus kerusakan retina atau retinopati karena hipertensi dan diabetes melitus ini adalah pada regulasi gula darah dan tekanan darah, apabila keduanya dapat dikendalikan dengan baik, kemungkinan terjadinya komplikasi juga akan sangat kecil dan potensi kerusakan retina juga dapat dihindari.
Dari semua uraian yang telah disampaikan di atas, hal penting yang menjadi fokus kita adalah bahwa pada banyak kasus, kebutaan sebenarnya dapat dicegah, namun karena kesadaran dan kepedulian terhadap kesehatan mata yang masih sangat rendah menyebabkan angka kebutaan di dunia masih sangat tinggi. Sebagian besar orang rutin melakukan pemeriksaan pada tubuhnya sebagai usaha untuk mencegah berbagai penyakit, namun masih sangat sedikit orang yang berupaya untuk menjaga kesehatan mata. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Philips Lighting pada 8 ribu orang dewasa dari sebelas negara yaitu Tiongkok, Republik Ceko, Perancis, Jerman, Indonesia, Polandia, Spanyol, Swedia, Thailand, Turki, dan Amerika Serikat untuk mengetahui seberapa besar orang memikirkan kenyaman penglihatan didapatkan hasil bahwa hanya 32% responden yang memperhatikan kenyamanan pada mata mereka saat bekerja dengan pencahayaan yang kurang. Pada masyarakat Indonesia, prioritas utama kesehatan yang diperhatikan adalah tingkat kebugaran (80%), stres (77%) dan berat badan (66 %).
Terkait dengan pemeriksaan mata, masyarakat Indonesia termasuk paling jarang melakukan pemeriksaan rutin ke dokter mata yaitu sekitar 19 persen, dibandingkan dengan rata-rata pemeriksaan tubuh yang lain yaiu 43 persen. Mengacu pada data-data tersebut, sampai saat ini kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya memperhatikan kesehatan mata harus sangat ditingkatkan. Berbagai pihak baik dari kementrian kesehatan maupun PERDAMI (Persatuan Dokter Mata Seluruh Indonesia) sampai saat ini juga terus melakukan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat dalam rangka mencapai kesehatan mata masyarakat Indonesia yang optimal sehingga menunjang terciptanya kualitas manusia Indonesia yang lebih baik.
Penulis :dr. Cicih Komariah, Sp.M Dosen di FK Universitas Jember dan Alumni FK UB Malang