Kanal24, Malang — Polemik kenaikan gaji, tunjangan, dan fasilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai sorotan publik. Di tengah kondisi ekonomi nasional yang sedang menghadapi efisiensi anggaran dan defisit penerimaan negara, keputusan untuk menambah fasilitas bagi wakil rakyat dipandang tidak sejalan dengan realitas yang dirasakan masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Ria Casmi Arrsa, S.H., M.H., pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), dalam wawancara eksklusif bersama Kanal24 pada Selasa (26/08/2025). Menurutnya, pemberian tambahan fasilitas semestinya dibarengi dengan peningkatan kinerja nyata dari DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Baca juga:
Ketimpangan Dagang RI-AS: Diplomasi Minim Visi dan Kajian

Publik Belum Rasakan Dampak Kinerja DPR
Ria menegaskan bahwa hingga saat ini, masyarakat belum melihat adanya gebrakan signifikan dari DPR dalam menyuarakan aspirasi rakyat, khususnya di bidang legislasi. Ia mencontohkan proses pembentukan undang-undang yang sering dilakukan terburu-buru tanpa memperhatikan asas dan prosedur, sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan.
“Mulai dari Undang-Undang Cipta Kerja, revisi Undang-Undang KPK, hingga yang terbaru soal KUHP, semua menuai protes luas. Itu bentuk ekspresi kekecewaan rakyat yang menilai kenaikan gaji dan tunjangan DPR belum sejalan dengan kinerja yang nyata,” tegasnya.
Fasilitas Besar, Kehadiran Masih Rendah
Ria juga mengingatkan bahwa meski anggota DPR mendapat berbagai fasilitas, seperti mobil dinas dan tunjangan besar, fenomena absensi saat rapat penting masih sering terjadi. Hal ini menimbulkan kesan bahwa DPR tidak sepenuhnya menjalankan fungsi representasi rakyat.
“DPR adalah lembaga legislatif yang punya tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Jika fasilitas sudah diberikan, mestinya ketiga fungsi itu berjalan optimal. Namun yang kita lihat justru sebaliknya, masih ada gap besar antara fasilitas yang diterima dengan kualitas kinerja,” ujarnya.
Kesenjangan Sosial Jadi Sorotan
Situasi makin kontras ketika pada Sidang Tahunan MPR yang sakral, sejumlah anggota dewan tertangkap kamera berjoget. Menurut Ria, hal tersebut memperlebar jarak komunikasi antara rakyat dan wakilnya.
“Bayangkan, di tengah angka pengangguran tinggi dan gelombang PHK, rakyat melihat wakilnya berjoget dengan fasilitas besar yang ditanggung negara. Ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang semakin dalam,” ucapnya.
Perlu Evaluasi dan Mekanisme Kontrol
Lebih lanjut, Ria menilai sangat mungkin dilakukan evaluasi terkait kenaikan tunjangan DPR. Evaluasi itu bisa berupa penundaan atau bahkan pembatalan, dengan melibatkan berbagai pihak, mulai dari Kementerian Keuangan, Sekretariat Jenderal DPR, akademisi, hingga desakan masyarakat sipil dan mahasiswa.
“Secara regulasi, dasar hukum tunjangan DPR memang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Karena itu, proses evaluasi juga memungkinkan dilakukan sepanjang ada kesadaran politik dan tekanan publik. Kuncinya adalah memastikan kebijakan ini sejalan dengan kondisi fiskal negara,” jelasnya.
Baca juga:
Cahaya untuk Gaza : UB Berangkatkan 2 Dokter Terbaik
Harus Sejalan dengan Kinerja Nyata
Menutup wawancara, Ria menekankan bahwa kenaikan tunjangan dan fasilitas DPR hanya akan diterima publik apabila diimbangi dengan peningkatan kualitas kerja anggota dewan. DPR dituntut tidak hanya bekerja sesuai prosedur, tetapi juga substantif dalam merepresentasikan kepentingan rakyat.
“Jika tidak ada perubahan signifikan dalam kinerja, maka wajar masyarakat mempertanyakan legitimasi kenaikan ini. Sebab rakyat butuh wakil yang benar-benar bekerja untuk mereka, bukan sekadar menikmati fasilitas negara,” pungkasnya. (nid/yor)