KANAL24, Malang – Seakan belum ada habisnya, korupsi masih merajalela di Indonesia. Terbaru, Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi pada kamis (6/1/2022) ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi anti rasua tersebut merilis 9 orang yang jadi tersangka dengan barang bukti uang mencapai Rp 5,7 miliar. Masih banyaknya kepala daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) disoroti oleh Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Dr. Abdul Aziz SR. Menurutnya, kepala daerah yang melakukan praktek korupsi adalah pemimpin yang bermental miskin.
“Hobi kepala daerah ini meminta dan selalu ingin mengambil sesuatu yang bukan haknya, bukan miliknya,” terang Abdul Aziz, Senin (10/1/2022).
Ia melanjutkan, mahalnya biaya Pilkada yang harus ditanggung kandidat calon kepala daerah juga menjadi salah satu alasan kenapa praktek korupsi masih terjadi.
“Setelah terpilih, setidaknya ada dua hal yang dilakukan kepala daerah. Pertama, mengembalikan modal, biasanya dengan merekayasa kebijakan dan program pembangunan daerah. Ada juga yang bekerjasama dengan pemilik modal (berkolusi) dan mengambil keuntungan di situ,” katanya.
Para kepala daerah ini mengumpulkan uang untuk maju lagi pada periode berikut untuk diri sendiri serta keluarga dan untuk orang-orang yang selama proses pilkada berjasa kepadanya. Peran serta partai politik pun tidak serius dalam mencari dan mempromosikan kader atau orang-orang terbaik untuk menempati posisi sebagai kepala daerah.
“Partai politik lebih bersandar pada kemampuan finansial dan tingkat popularitas seorang kandidat. Hampir tidak pernah melihat variabel kualitas dan rekam jejak seseorang. Banyak sekali kepala daerah dari sisi kualitas tidak layak. Bahkan tidak sedikit urakan. Selain itu, lemahnya kontrol civil society dan hancurnya penegakan hukum membuat kepala daerah merasa tidak takut melakukan korupsi,” jelasnya.
Penulis buku Ekonomi Politik Monopoli ini mengatakan, kepala daerah yang melakukan korupsi rata-rata lebih sibuk mengurus diri sendiri. Tak hanya itu, bidang pendidikan saat ini dinilai tidak mengajarkan manusia Indonesia bersikap jujur dan menjauhi korupsi. Bahkan orangtua serta lembaga-lembaga pendidikan mempertontonkan perilaku korup kepada anak-anak sejak kecil.
“Contoh orangtua bersedia membayar mahal agar anaknya diterima di sekolah tertentu. Si anak tahu transaksi itu. Dan, itu kemudian menjadi pengetahuan dan pengalaman si anak,” tandas Abdul Aziz. (Meg)