oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Islam menetapkan kriteria amal terhadap perbuatan manusia bukan mempersoalkan pada urusan perbedaan gender (jenis kelamin). Dalam perspektif profetik bahwa manusia dinilai berdasar keimanan dan amalnya, tidaklah membedakan jenis kelamin, pada keduanya sama di hadapan Allah baik dalam mengerjakan amal perbuatan ataupun di hadapan hukum. Yaitu siapa yang melakukan kebaikan maka akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang mengerjakan keburukan juga akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Sebagaimana ditegaskan dalam teks sumber wahyu bahwa laki-laki maupun wanita mendapat balasan yang sama sesuai perbuatannya,
فَٱسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰۖ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَيِّـَٔاتِهِمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ ثَوَابٗا مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik.” (QS. Ali ‘Imran, Ayat 195)
Demikian pula ditegaskan bahwa sekecil dan seremeh apapun dari perbuatan pasti dibalas tanpa memandang persoalan gender. Sebagaimana Allah swt menjelaskan :
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ
Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya,
dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS. Az-Zalzalah, Ayat 7- 8)
Perspektif profetik Memberikan suatu pemahaman bahwa kesetaraan gender hanyalah berada pada ranah ibadah guna mencapai ketakwaan serta ranah dalam menjalankan amal-amal kehidupan, bukan pada kesetaraan dalam menjalankan peran dan fungsi domestiknya di ruang publik. Sementara seseorang dalam menjalankan peran gendernya telah dijelaskan batasannya dalam teks sumber wahyu. Bahwa setiap gender hanyalah berbagi peran tugas. Seorang laki-laki (suami) berperan sebagai pemimpin dalam keluarga yang bertugas memimpin dan pengambil keputusan, sementara perempuan berperan sebagai ibu bagi generasi yang bertugas melahirkan, menyusui, menjadi “sekolah” bagi generasi dengan mendidik dan mendampingi generasi menjadi manusia terbaik dalam membangun peradaban.
Peran dan tugas pada masing-masingnya ini apabila dijalankan dengan baik akan melahirkan realitas kehidupan yang damai dan bahagia. Berbagai persoalan konflik yang terjadi dalam realitas gender saat ini terjadi karena gender dipahami sebagai suatu realitas yang harus dipertentangkan karena pada keduanya dipahami dalam paradigma kesetaraan peran sehingga pada keduanya bisa saling bertukar peran. Seorang laki-laki dapat bertukar peran dengan perempuan demikian pula sebaliknya seorang perempuan dapat mengambil peran laki-laki.
Jika seorang laki-laki yang memiliki peran kepemimpinan dan menjalankan berbagai fungsi kepemimpinan seperti mengambil keputusan, menginstruksi, memerintah, kemandirian dan ketegasan, yang dalam hal okupasi pekerjaan mengandalkan kekuatan dan keberanian, seperti sebagai tentara, sopir, petinju dan sebagainya. Sementara kaum perempuan yang memiliki peran keibuan seperti pekerjaan mendidik, memasak, berhias, yang dalam pekerjaan dapat berupa juru masak, juru hias, menjahit dan sebagainya. Lalu apalah jadinya jika peran dan tugas ini kemudian dilakukan secara berseberangan atau pula tumpang tindih (interchangeable), maka tentu dari sinilah suatu konflik kemanusiaan itu bermula.
Pada masing-masing peran dan tugas tersebut memiliki karakteristik komunikasi yang berbeda. Gaya komunikasi dipahami sangat dipengaruhi oleh budaya, gender dan sex. Pada laki-laki dengan peran sebagai pemimpin, sering kali dicirikan dengan gaya komunikasi yang tegas, gaya memerintah, tidak memproses informasi panjang sehingga pria tidak suka berbelit-belit, cenderung mendominasi, informasi cenderung mendalam, tidak suka basa-basi, to the point, dalam pertengkaran memiliki naluri melawan, dalam penyelesaian masalah cenderung acuh pada hal-hal sepele, dalam bahasa tubuh menggunakan pandangan tegas dengan nada suara dan ekspresi untuk menjaga wibawa serta statusnya. Hal ini tentu berbeda dengan perempuan yang cenderung bersifat menerima, penuh kelembutan, cenderung berbelit-belit, lebih banyak berbicara daripada mendengar, suka pada hal yang bersifat basa-basi, mengalah, sangat perhatian pada hal yang sepele dan kecil, dalam bahasa tubuh menggunakan gestur kelembutan, menjaga pandangan, sering manggut dan bergumam.
Perbedaan gaya komunikasi ini adalah sesuatu yang alamiah sebab perbedaan gender dengan realitas lingkungan yang berbeda pula pada pembentukan karakter kepribadiannya. Untuk itu tentu hal ini akan menjadi suatu persoalan komunikasi manakala pada keduanya (laki-laki dan perempuan) menjalankan gaya komunikasi yang berbanding terbalik dengan realitas budaya gender pada masing-masingnya. Untuk itu perspektif profetik meletakkan masing-masing gender dalam porsi perannya dengan tepat sehingga tidak terjadi konflik komunikasi pada keduanya yang akan berakibat pada persoalan sosial yang lebih kompleks lagi.
Konsepsi profetik dalam persoalan gender memahami bahwa setara tak harus selalu sama. Setara tak harus selalu sebanding dan lurus simetris. Selalu ada perbedaan dalam kesetaraan. Dan kesetaraan muncul justru dari perbedaan. Dalam konsepsi ini kedudukan laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah setara yaitu dalam hal menjalankan amal dan beribadah menuju jalan ketaqwaan. Sementara dalam menjalankan peran yang didalamnya ada beban sosial maka pada keduanya telah diletakkan pada porsinya masing-masing, sehingga keduanya dapat berbagi peran dengan baik untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan harmonis.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB