Kanal24, Malang – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi mendorong percepatan migrasi penggunaan eSIM di Indonesia. Langkah ini ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital terkait pemanfaatan eSIM, sebagai bagian dari strategi untuk memerangi penipuan digital yang kian marak di Tanah Air.
Menurut Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, penggunaan eSIM diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih kepada masyarakat. “eSIM bisa membantu pengguna untuk terhindar dari spam, phishing, hingga praktik judi online,” jelasnya dalam keterangan resmi.
Baca juga:
Digitalisasi Transaksi dan Stabilitas Harga di Malang
Namun, efektivitas eSIM sebagai solusi utama dalam memberantas kejahatan digital masih menuai keraguan dari para ahli keamanan siber. Salah satunya datang dari Alfons Tanujaya, pakar keamanan siber yang menilai bahwa eSIM bukanlah jawaban mutlak.
Akar Masalah Ada pada Prosedur Pendaftaran
Menurut Alfons, akar dari maraknya penipuan digital bukan terletak pada teknologi kartu SIM yang digunakan, melainkan pada lemahnya sistem dan prosedur pendaftaran layanan seluler.
“Masalah utamanya bukan sekadar jenis kartu, tapi bagaimana data pengguna diverifikasi. Selama prosedur pendaftaran tidak diperbaiki dan dijalankan dengan baik, penipuan akan tetap merajalela, meski kita pakai eSIM,” ujar Alfons pada Senin (14/4/2025).
Ia menambahkan bahwa meskipun eSIM memiliki keunggulan seperti penguncian jarak jauh dan penggunaan multi-provider tanpa harus mengganti kartu secara fisik, penetrasi perangkat eSIM di Indonesia masih sangat rendah. “Saat ini hanya sekitar 15 persen perangkat yang mendukung eSIM, dan kebanyakan dari itu adalah ponsel kelas atas yang jarang digunakan untuk tindak kejahatan,” ujarnya.
Solusi Realistis: Blokir IMEI dan Tegakkan Aturan
Sebagai alternatif solusi yang lebih konkret dan berdampak, Alfons menyarankan agar pemerintah menerapkan sistem pemblokiran IMEI terhadap ponsel yang digunakan untuk aktivitas penipuan. Langkah ini dinilai lebih efektif memberikan efek jera kepada pelaku dan membuat biaya melakukan kejahatan menjadi lebih mahal.
“Jika terbukti nomor ponsel digunakan untuk penipuan, identifikasi IMEI perangkatnya lalu blokir. Ponsel itu tidak bisa lagi dipakai di jaringan operator manapun di Indonesia,” tegas Alfons. Ia juga mengusulkan dibentuknya sistem pelaporan khusus untuk korban fraud agar proses pemblokiran bisa cepat dan akurat.
Selain itu, Alfons menyoroti pentingnya konsistensi dan ketegasan dalam menegakkan aturan yang telah dibuat. “Mau pakai SIM, eSIM, atau iSIM, kalau pendaftarannya masih bisa dimanipulasi, maka semuanya akan sia-sia,” ujarnya.
Strategi Dorong Adopsi eSIM
Di sisi lain, Alfons tidak menolak bahwa eSIM bisa menjadi bagian dari solusi jangka panjang. Namun, ia menekankan perlunya peran aktif dari provider telekomunikasi dalam mendorong adopsi eSIM di masyarakat.
Ia menyarankan agar operator seluler memberikan insentif menarik seperti diskon tagihan atau bonus pulsa bagi pengguna yang beralih ke eSIM. “Kalau ingin penetrasinya meningkat, ya harus ada motivasi langsung untuk pengguna,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga menyebut bahwa penggunaan eSIM sangat bermanfaat bagi para pelancong atau pengguna internasional karena memungkinkan pergantian provider tanpa perlu membongkar ponsel atau memiliki slot kartu SIM tambahan.
Baca juga:
Tantangan Pergaulan Gen Z di Era Digital
Upaya Komdigi dalam mendorong penggunaan eSIM patut diapresiasi sebagai langkah proaktif menghadapi tantangan dunia digital. Namun demikian, seperti disampaikan oleh pakar, migrasi eSIM harus diiringi dengan reformasi sistem pendaftaran pengguna serta penerapan sanksi tegas bagi pelaku penipuan.
Tanpa fondasi keamanan yang kuat dan konsistensi penegakan aturan, eSIM hanya akan menjadi solusi kosmetik dalam menghadapi masalah yang jauh lebih kompleks di ranah digital Indonesia. (nid)