KANAL24, Jakarta – Hingga memasuki semester II/2019, kinerja PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) masih belum positif. Selain karena mengalami penyusutan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, KRAS juga masih mencatatkan rugi bersih sebesar US$ 74,82 juta di tahun 2018.
Tapi KRAS optimis jika kondisi keuangan perusahaan akan membaik seiring perbaikan kinerja yang telah dilakukan.Menurut Direktur Utama KRAS, Silmy Karim, kondisi yang belum positif disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, KRAS berhadapan dengan raksasa industri baja China yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 1 miliar ton per tahun atau setara dengan 55,55% permintaan baja dunia yang sebesar 1,8 miliar ton pertahunnya sehingga bisa mempengaruhi penjualan ekspor baja KRAS.
Selain itu, KRAS juga menghadapi persaingan penjualan baja yang ketat di tingkat nasional akibat tingginya importasi baja yang masuk ke dalam negeri. Silmy menyebut, saat ini lebih dari 50% kebutuhan baja dalam negeri dipenuhi oleh baja impor yang masuk ke dalam negeri yang sebagian besar berasal dari China.
Berdasarkan data seperti dikutip The South East Asia Iron and Steel Institute (SEASI) pada 11/7, menunjukkan bahwa jumlah importasi baja di Indonesia mencapai 7,6 juta ton.
Pada saat yang bersamaan, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa komoditas besi dan baja menjadi komoditas impor terbesar ketiga di tahun 2018, yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai US$ 10,25 miliar.
Dalam perkembangannya, tren ini terus berlanjut di semester I/2019. Berdasarkan data Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Juni 2019, nilai impor besi dan baja di semester I/2019 mengalami kenaikan sebesar 4,49% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari yang semula senilai US$ 4,67 miliar pada semester I/2018 menjadi 4,88 miliar di semester I/2019.
Menurut Silmy, tingginya importasi baja yang masuk ke dalam negeri disebabkan oleh maraknya praktik dumping serta penghindaraan implementasi kebijakan antidumping (circumvention) dalam bentuk penyimpangan nomenklatur klasifikasi barang (harmonized system code/HS Code) .
Oleh karenanya, meski Indonesia saat ini telah memiliki kebijakan antidumping yang dituangkan dalam bentuk peraturan Bea Masuk Antidumping ( BMAD ) terhadap impor baja, Silmy menilai bahwa pengawasan perlu dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan HS Code.
Sementara itu dari sisi internal, kondisi keuangan perusahaan yang belum menggembirakan juga didorong oleh utang yang terlalu besar serta investasi di bidang bisnis baja pada 10 tahun terakhir yang dinilai belum memberikan manfaat besar bagi perseroan.
Untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan, Silmy menyebut KRAS akan berupaya meningkatkan volume bisnis dna penjualan serta memperkuat produk-produk hilir melalui berbagai kerja sama yang akan dilakukan dengan mitra-mitra bisnis maupun mitra industri yang selama ini telah menjadi pelanggan KRAS.
Melalui strategi di atas, Silmy optimistis kondisi keuangan KRAS dapat kembali positif pada kuartal I /2020. “Kuartal IV 2019 akan kelihatan perbaikannya,” jelas Silmy seperti dikutip Kontan (31/8).
Sebagai informasi, saat ini KRAS juga tengah melakukan upaya restrukturisasi utang melalui perjanjian kredit (PK). Upaya restrukturisasi ini terdiri atas tiga skema, yaitu pembayaran menggunakan cashflow, penjualan aset dan convertible bond.
Menurut Silmy, upaya restrukturisasi utang tersebut dilakukan terhadap sebanyak US$ 2,2 miliar pinjaman yang diperoleh dari sebanyak 10 kreditur yang meliputi Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, Bank CIMB Niaga, OCBC NISP, Bank DBS Indonesia, Bank BCA, Bank Danamon, Indonesia Exim Bank, dan Standard Chartered. (sdk)