Salah satu sifat kemanusiaan adalah memiliki kelemahan dan keterbatasan sekalipun seseorang memiliki kuasa, kemampuan namun sesungguhnya mereka tidak berkuasa. Sebuah ungkapan yang sering kita dengar bahwa diatas langit ada langit. Memberikan gambaran bahwa kemampuan yang dimiliki oleh seseorang adalah terbatas dan pasti selalu ada yang melebihinya atau mengunggulinya.
Ibarat seorang seorang pimpinan fakultas, memiliki keterbatasan kewenangan karena masih berada di bawah kewenangan pimpinan universitas, demikian pula pimpinan universitas, masih di bawah kewenangan level di atasnya yaitu menteri. Seorang menteri masih berada di bawah kewenangan presiden. Dan seorang presiden di bawah pengawasan DPR. Demikian pula, kewenangan DPR masih lebih berkuasa rakyat pemilih (konstituen), karena mereka (rakyat) telah memberikan amanah kepercayaan kepadanya, dan sementara rakyat atau masyarakat tidak memiliki kuasa apapun karena mereka berada di bawah kuasa mutlak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga sesungguhnya kekuasaan manusia amatlah terbatas, oleh karena itu tidak layak bagi manusia sekalipun dia dititipi atau diamanahi suatu kekuasaan, kemudian menggunakan kekuasaannya secara semena-mena, tidak adil dan berbuat dhalim atas orang atau rakyat yang dipimpinnya. Sebab kapanpun saja kekuasaan itu akan diambil oleh Sang pemiliknya yaitu Allah swt. Sebagaimana firmanNya :
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali ‘Imran : 26)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Sang Pemilik kekuasaan mutlak, yang memiliki sifat sifat mulia sekaligus berkuasa atas sifat-sifat itu. Sebagaimana dijelaskan dalam Syarah kitab Aqidatul Awam, bahwa Allah memiliki 20 sifat kemuliaan. Dari 20 sifat itu terbagi dalam 4 klasifikasi, yaitu : Nafsiyah, Salbiyah, Ma’nawiy, dan ma’nawiyah. Nafsiyah adalah sifat yang wajib adanya bagi Allah yaitu wujud. Salbiyah adalah sifat yang berfungsi untuk melakukan negasi atau peniadaan atas sifat yang tidak layak bagi Allah demi kesempurnaan sifatNya. Yaitu terdiri dari lima sifat yakni, Qidam, Baqo’, Mukhalafatu lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyyah. Ma’aniy adalah suatu sifat yang melekat dan wajib ada pada Dzat Allah. Berupa Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam. Yang terakhir ma’nawiyah, yaitu sesuatu yang tidak lepas dan selalu melekat dan tidak bisa dipisahkan dari sifat ma’aniy, yaitu sifat yang menegaskan akan kekuasaannya secara mutlak. Pada aspek maknawiyah inilah Allah swt adalah menunjukkan bahwa diriNya adalah dzat yang “memiliki kuasa sekaligus berkuasa penuh menjalankan kekuasaannya”. Itulah sifat Qadiran, Muridan, Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran, Mutakalliman.
Sementara manusia, sekalipun mereka memiliki kuasa, memiliki kemampuan namun dia tidak berkuasa untuk menjalankan kuasanya atau kemampuannya secara utuh. Lebih tragis lagi jika seorang pimpinan, dia memiliki kuasa memimpin namun tidak berkuasa menjalankan kepemimpinannya. Mengapa demikian? , hal ini karena kelemahan dirinya, ketidakmampuan dirinya, baik sebab dia memang adalah manusia yang terbatas atau karena dia memiliki kelemahan dalam menjalankan skill kemampuannya. Dia seorang pemimpin namun bukan layaknya pemimpin. Inilah model pemimpin boneka. Kekuasaan yang ada dalam dirinya tapi dimainkan dan dikendalikan oleh orang lain di luar dirinya.
Jika ada seorang pemimpin yang demikian, punya kuasa tapi tak berkuasa maka inilah selemah-lemahnya pemimpin dan negerinya akan menjadi selemah-lemahnya negeri karena dipimpin oleh seorang yang tidak berkompeten memimpin di kalangan anak bangsanya. Sehingga sekalipun negeri itu kaya dengan potensi yang besar, namun akan kehilangan kewibawaan dan kemuliaan karena sebab pemimpin yang mengemudikan armada negerinya bukan menjadi dirinya sendiri melainkan dikendalikan oleh orang lain yang berkemungkinan tidak bertanggungjawab atas segala apapun dari dampak kebijakan yang diambil, mereka para invisible hand yang tidak bertanggungjawab.
Jika pemimpinnya lemah maka pasti ada orang-orang kuat dibelakang yang mengendalikannya dan mereka tidak akan ikut bertanggungjawab atas keputusan kepemimpinan. Pada pemimpin yang lemah dan terkendalikan maka kekuatan dan potensi besar yang dimiliki oleh negeri hanya akan menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan dengan murah, sehingga lemahlah negeri itu. Karena itulah para ulama memberikan arahan bahwa dalam memilih pemimpin utamakan yang kuat dan bukan karena baiknya. Karena kekuatannya itu bermanfaat untuk melindungi rakyat dan negerinya, sementara kebaikannya adalah untuk dirinya sendiri.
Semoga negeri ini tidaklah di azab oleh Allah karena kelalaian dalam mensyukuri nikmat atas potensi negeri (sumberdaya alam dan manusia). Semoga Allah swt mengampuni dosa kita semua dan menjadikan penduduk negeri ini disadarkan untuk bersedia tunduk dan mengikuti aturan Allah sehingga menjadi negeri yang berkah. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar