Kanal24, Malang – Rancangan Undang-Undang (RUU) perpajakan baru yang tengah digodok pemerintahan Donald J. Trump memicu kekhawatiran luas di kalangan organisasi sosial dan lembaga filantropi Amerika Serikat. Regulasi yang diusulkan diperkirakan akan memangkas insentif pajak bagi para donatur kaya, sehingga berdampak langsung pada potensi turunnya sumbangan dalam jumlah besar. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: siapa yang akan menutupi kekurangan dana filantropi jika donasi besar merosot?
Insentif Pajak Berkurang, Donasi Besar Terancam Menyusut
Dalam draf RUU pajak terbaru, insentif bagi donatur berpenghasilan tinggi mengalami penurunan. Salah satunya adalah turunnya efektivitas potongan pajak yang sebelumnya mencapai 37% menjadi sekitar 35%. Bagi kelompok kaya yang selama ini mendominasi donasi berskala besar, pengurangan insentif ini membuat kegiatan filantropi menjadi kurang menarik secara finansial.
Baca juga:
Milenial dan Gen Z Saatnya Kelola Keuangan dengan Bijak
Sejumlah ekonom memperkirakan potensi penurunan donasi bisa mencapai miliaran dolar dalam setahun. Hal ini terjadi karena sebagian besar sumbangan besar berasal dari kalangan berpendapatan tinggi yang memanfaatkan insentif pajak sebagai bagian dari strategi perencanaan keuangan mereka.
Organisasi Nirlaba Hadapi Ancaman Pengurangan Program
Lembaga sosial, organisasi non-profit, dan badan amal diprediksi menjadi pihak paling terdampak oleh penurunan donasi. Selama ini, ratusan program kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, hingga riset ilmiah bergantung pada kedermawanan para filantropis besar.
Jika donasi dari kelompok kaya menurun, beberapa dampak langsung yang mungkin terjadi antara lain; pengurangan program layanan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pembatasan layanan kesehatan komunitas atau bantuan pendidikan, penundaan proyek riset kesehatan dan mitigasi perubahan iklim, dan ketergantungan lebih besar pada donasi kecil dari masyarakat umum.
Ancaman ini diperparah oleh kondisi ekonomi āberbentuk Kā, di mana kesenjangan antara kelompok kaya dan kelas menengah makin melebar. Saat kelas menengah tertekan secara finansial, potensi mereka untuk menggantikan hilangnya donasi besar sangat terbatas.
Kebijakan Baru Dinilai Kurang Efektif Dorong Donasi Kelas Menengah
RUU pajak tersebut juga memasukkan insentif untuk mendorong donasi dari kalangan menengah dan bawah. Misalnya, adanya potongan pajak khusus untuk sumbangan tunai hingga batas tertentu. Namun, banyak analis menilai kebijakan ini tidak cukup efektif karena mayoritas rumah tangga di kelas menengah lebih memilih menggunakan standard deduction sehingga insentif tersebut tidak otomatis menguntungkan.
Sementara itu, lembaga amal menilai bahwa donasi kecil dari masyarakat memang penting, tetapi secara total tidak akan mampu menutup kekurangan yang ditinggalkan oleh berkurangnya donasi miliaran dolar dari individu superkaya.
Taktik Baru Donatur: Donasi Aset dan Percepatan Sumbangan
Di tengah ketidakpastian ini, sejumlah pakar keuangan menyarankan strategi alternatif bagi donatur kaya yang masih ingin memberi dampak sosial. Salah satu opsi yang direkomendasikan adalah mempercepat pemberian donasi sebelum aturan pajak baru diberlakukan secara penuh.
Selain itu, bentuk sumbangan berupa saham, aset apresiasi, atau dana investasi juga dinilai lebih efisien. Donasi jenis ini memungkinkan penghindaran pajak keuntungan modal sekaligus tetap memberikan dukungan signifikan bagi lembaga sosial.
Organisasi non-profit juga mulai menyesuaikan strategi mereka dengan memperluas jaringan donatur, meningkatkan kampanye publik, serta mengoptimalkan penggunaan platform digital untuk menggalang dana.
Dampak Global: Berkurangnya Donasi AS Dikhawatirkan Mengguncang Program Internasional
Amerika Serikat merupakan sumber pendanaan terbesar bagi ribuan organisasi kemanusiaan internasional. Penurunan donasi dari filantropis besar AS diperkirakan akan mempengaruhi berbagai program global, seperti bantuan bencana, pendidikan di negara berkembang, riset penyakit menular, hingga pendanaan agenda perubahan iklim.
Jika kekurangan dana tidak segera diatasi, beberapa program yang sangat bergantung pada pendanaan AS dikhawatirkan akan mengalami pemangkasan atau bahkan berhenti beroperasi.
Kesimpulan: Filantropi Amerika di Persimpangan Jalan
RUU pajak baru yang diusulkan pemerintahan Trump menjadi titik krusial bagi masa depan filantropi di Amerika Serikat. Penurunan insentif pajak bagi para donatur kaya berpotensi menekan aliran donasi besar yang selama ini menjadi tulang punggung sektor sosial.
Lembaga nirlaba harus menyiapkan strategi adaptif untuk menghadapinyaābaik melalui diversifikasi sumber pendanaan, penguatan kampanye donasi publik, maupun memaksimalkan teknologi digital. Keberlanjutan filantropi global kini sangat bergantung pada bagaimana pemerintah, donatur, dan organisasi sosial menavigasi perubahan signifikan dalam kebijakan pajak tersebut. (nid)









