Lembut suara dalam berkomunikasi artinya merendahkan nada, mempositifkan tone, mengecilkan volume dengan tidak mengeraskan atau meninggikannya termasuk pula dalam hal ini adalah menciptakan kesan kata atau kalimat yang tidak menandakan tinggi hati (sombong). Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi antar individu memberikan kesan informasi atas diri pemiliknya, apakah termasuk orang yang berhati lembut, sopan, santun ataukah sombong, keras hati dan egois. Karena sebuah kata diproduksi dalam benak seseorang yang dipengaruhi oleh pengetahuan diri, karakter, kepribadian dan sifat personal yang kemudian menjadikan mulut sebagai pintunya untuk membuka dan mengenali secara utuh kepribadian seseorang. Sementara manakala seseorang telah menyampaikan sebuah pesan, maka selanjutnya orang lain sebagai lawan komunikasi akan mempersepsi, menginterpretasi dan memaknai pesan dan semua hal yang terkait pesan (isi, suasana, konteks dan penyampai) . Orang lain bebas, suka-suka mereka dalam menginterpretasikannya dengan menggunakan rasa atau perasaannya dalam memaknai setiap pesan yang sampai pada dirinya.
Mengingat setiap pesan komunikasi akan dirasakan oleh setiap orang maka sebelum memproduksi pesan komunikasi baik dikala berbicara dan berinteraksi dengan orang lain pergunakan pula hati dan perasaan pula agar dapat diterima dengan baik oleh setiap orang. Pergunakan dan pilih kata yang tepat sesuai konteksnya, bernada positif, disampaikan dengan cara yang baik dengan nada yang tepat pula, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, tidak terlalu keras atau tinggi (hingga orang menganggapnya marah atau bahkan sombong) dan tidak terlalu rendah, kalem hingga orang kesulitan mendengarnya. Demikianlah anjuran Allah swt dalam alquran dalam menjelaskan pesan Luqman al hakim terhadap anaknya.
وَٱقۡصِدۡ فِي مَشۡيِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ
Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman : 19)
Demikian pula gaya komunikasi Rasulullah sebagaimana digambarkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra. dalam sebuah riwayat: “kecepatan bicara Rasulullah saw tidak pernah melebihi kecepatan bicara kalian, beliau berbicara dengan tutur kata yang singkat, namun jelas. Sehingga mudah diingat oleh siapa yang mendengarnya di majelis. (HR. Tirmidzi).
Firman Allah di atas sungguh merupakan perumpamaan yang sangat tepat disaat menganalogikan ucapan atau perkataan yang bernada tinggi dan keras ibarat keledai. Bagaimana suara keledai itu?. Meringkik, melengking hal ini dianalogikan oleh seseorang yang sedang emosi dan marah tentu akan meninggikan suaranya karena dirinya sedang dikuasai oleh syetan. Demikianlah sabda nabi bahwa ayam berkokok karena melihat malaikat, sementara keledai meringki karena melihat syetan. Sehingga seseorang yang meninggikan suaranya karena marah diibaratkan dengan dengan suara keledai. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ، فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا ، وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ، فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا
“Apabila kalian mendengar ayam jantan berkokok di waktu malam, maka mintalah anugrah kepada Allah, karena sesungguhnya ia melihat malaikat. Namun apabila engkau mendengar keledai meringkik di waktu malam, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan, karena sesungguhnya ia telah melihat syaithan” (HR. Muslim no. 3303 dan Muslim no. 2729).
Merendahkan suara berarti berbicara dengan penuh ketawadhuan. Yaitu gaya bicara yang sederhana, tidak mengada-ada, tidak bernada tinggi, tidak terlalu cepat dan tidak mengesankan kesombongan diri. Lalu kepada siapa kita perlu merendahkan suara ?. Yaitu kepada orang yang lebih tua terlebih kepada orang tua atau senior, sebagaimana di Firman Allah :
۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (QS Al-Isra’ : 23)
Demikian pula seseorang janganlah meninggikan suaranya dihadapan orang berilmu (ulama) dan atau kalangan terhormat diantara manusia, demi menghormatinya dan mengambil kemanfaatan ilmu daripadanya. Sebagaimana Firman Allah swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari. (QS Al-Hujurat : 2)
Ayat ini turun terkait peristiwa terjadinya percekcokan antara Sahabat Abu bakar dan Umar bin khattab berselisih tentang siapa yang layak dijadikan pemimpin bagi kaum bani Tamim disaat sedang berada dihadapan Rasulullah. Meninggikan suara sering kali terjadi disaat seseorang sedang berselisih hingga diantara keduanya saling berebut ingin menguasai perbincangan dan mengalahkan salah satunya. Dalam hal demikian itulah perbuatan meninggikan suara dilarang, terlebih dihadapan seorang mulia, baik karena ilmu, ataupun status dan perannya dalam masyarakat, sebagaimana yang dilakukan nabi terhadap penguasa kabilah Hunaifiyah bernama, Tsamamah, yang diperlakukan dengan komunikasi yan sangat santun dan menghargai.
Termasuk dalam hal ini adalah seorang istri tidak boleh meninggikan suaranya di hadapan suami. Meninggikan suara bagi seorang istri terhadap suaminya baik dikala suasana damai ataupun konflik. Dalam suasana konflik tidak jarang istri ingin menguasai perbincangan dengan mengungkapkan kejelekan suami, memotong perbincangan suami atau melebihi dari volume suami karena dirinya sedang emosi dan terkuasai oleh syetan. Oleh karena itu sangat dianjurkan pada seseorang jika sedang marah lebih baik diam atau duduk, ambil wudhu bahkan disarankan berbaring. Sebab disaat seseorang sedang emosi atau marah, kalimat atau pesan yang diproduksinya cenderung negatif dan jelek. Sementara komunikasi disharmoni sering kali disebabkan oleh produksi pesan yang jelek tersebut. Karena itu jika seseorang tidak mampu menyampaikan pesan yang baik maka lebih baik diam. Sebagaimana sabda Nabi, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari)
Karena sering kali sebab lisan inilah (produksi pesan baik verbal maupun non verbal) yang menjadi sumber malapetaka dan konflik antar manusia. Karena itu Nabi bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَقَاهُ اللَّهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَشَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang Allah jaga dari keburukan apa yang diakibatkan dari lisan dan kemaluan , ia akan masuk surga.”
Oleh karena itu seorang muslim amat dianjurkan untuk menjaga lisannya. Dan bentuk menjaga lisan di sini juga berarti merendahkan suara, selain juga tidak menyakiti orang lain, adu domba atau berkata jorok.
Perhatikan keteladanan komunikasi dan interaksi Nabi Muhammad dengan orang lain bahkan sikap perlakuan atas seorang pengemis yahudi miskin dan buta sekalipun. Setiap harinya pengemis buta ini mengumpat, mencaci dan menebarkan fitnah keburukan Nabi pada siapapun yang di jumpainya termasuk pula kepada Nabi Rasulullah. Namun mengetahui hal demikian, Rasulullah tidak membalasnya. Bahkan Rasulullah saw membalasnya dengan kebaikan yaitu menyuapinya dengan sangat perhatian dan kelembutan sekalipun terus menerus mencela dan mencaci Rasulullah dihadapan Rasulullah sendiri. Sepeninggal Rasul, si yahudi ini heran, orang yang sekarang menyuapi dirinya dirasakan tidak sama dengan orang yang sebelumnya. Abu Bakar yang menyuapinya menggantikan Rasul menjawab, ”Yang anda maksud adalah Muhammad utusan Allah.” Seakan disambar petir di siang bolong, ia terkesima; orang yang selama ini saya jelek-jelekkan, menyuapi dirinya dengan tekun. Karena Rasulullah tidak meninggikan suara bahkan bersikap lemah lembut maka akhirnya pengemis yahudi tersebut tersentuh hatinya, dan menyatakan masuk islam.
Demikianlah sekilas ketedalanan Rasulullah dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, dengan cara yang lemah lembut, tidak tinggi, tidak sombong hingga tidak pernah Rasulullah meninggikan suara sekalipun terhadap musuhnya. Karena Rasulullah sadar bahwa dengan perkataan yang lemah lembut penuh kepedulian akan mampu mengantarkan orang lain meniti jalan hidayah. Semoga Allah swt menganugerahkan kemampuan berbicara untuk lebih dapat bersikap santun dan tidak mengeraskan dan meninggikan suara dihadapan siapapun. Semoga Allah mengampuni dosa dan meridhoiNya. Aamiiin..