Kanal24, Malang — Warga Kampung Semar, Arjosari, Kota Malang, Jawa Timur membuktikan kekuatan kolektif dan cinta budaya lewat gelaran “Tempoe Doloe 2: Bazar UMKM”, yang berlangsung selama sepekan penuh dari 21 hingga 27 Juli 2025. Lorong-lorong kampung disulap menjadi panggung nostalgia tempo dulu: mulai dari jajanan jadul, pertunjukan seni budaya, permainan tradisional, hingga spot foto bertema lawas yang memikat ribuan pengunjung dari dalam dan luar kota.
Dengan tajuk “Dari Warga, Oleh Warga, Untuk Budaya”, acara ini tak sekadar menjadi festival bazar biasa, melainkan ruang interaktif untuk menyambung memori antar generasi, memperkuat identitas lokal, dan memberdayakan UMKM berbasis warga.
Baca juga:
Reyog Brawijaya Juara Festival Nasional Ponorogo

Wali Kota Malang: “Kekompakan Warga Adalah Aset Kota”
Festival ini resmi dibuka oleh Wali Kota Malang, Dr. Ir. Wahyu Hidayat, MM, pada Senin sore (21/07/2025). Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya inisiatif warga dalam membangun ruang hidup yang tak hanya produktif secara ekonomi, tetapi juga kaya nilai kekeluargaan dan budaya.
“Yang paling penting dari acara ini adalah interaksi yang terbangun. Ada gotong royong, ada kekompakan, dan rasa syukur yang diwujudkan lewat kegiatan seperti ini. Walaupun keuntungannya mungkin tidak besar secara finansial, tapi yang tumbuh adalah solidaritas warga,” ujar Wahyu di sela pembukaan.
Ia juga menyebut bahwa Tempoe Doloe 2 bisa menjadi contoh bagi kampung-kampung tematik lain di Kota Malang, yang sempat mengalami penurunan aktivitas pascapandemi.
“Kampung seperti Semar ini menyimpan potensi besar. Kalau dikelola dengan baik dan konsisten, bisa menjadi destinasi wisata budaya yang tak hanya menarik warga lokal tapi juga pengunjung dari luar kota, bahkan luar negeri,” tambahnya.

Konsep Jadul dan Modern yang Berjalan Beriringan
Nurul Wahyuni, Ketua RT 6 RW 2 sekaligus tuan rumah acara, menjelaskan bahwa Tempoe Doloe 2 memadukan dua konsep: modern di bagian luar kampung, dan jadul di bagian dalam.
“Kami mengkurasi lebih dari 40 UMKM di luar kampung untuk sajian kekinian, sementara di dalam gang-gang, pengunjung akan merasakan suasana tempo dulu yang otentik — mulai dari pawon, musik gamelan, sampai pakaian ibu-ibu berkebaya,” jelas Nurul.
Ia juga mencatat bahwa partisipasi warga meningkat signifikan dibanding tahun lalu. “Hampir setiap rumah ikut berkontribusi. Bahkan jumlah pedagang bertambah setiap hari. Ini bukti antusiasme dan kebanggaan warga terhadap kampungnya sendiri,” imbuhnya.
Semangat Swadaya: Tidak Ada Sponsor, Semua Gotong Royong
Ketua pelaksana, Dina Arisnawati, S.P., menegaskan bahwa Tempoe Doloe 2 sepenuhnya digerakkan oleh kekuatan warga.
“Kami tidak mengandalkan sponsor besar. Semua dilakukan secara swadaya selama tiga bulan: dari dekorasi, logistik, hingga pembagian tugas. Bahkan konsumsi panitia pun sistem giliran antar rumah,” kata Dina.
Gagasan utama, lanjutnya, adalah menghidupkan kembali memori lokal yang nyaris hilang.
“Kami ingin anak-anak muda tahu bahwa dulu ada permainan tradisional, ada gotong royong, ada kehidupan kampung yang hangat. Ini bukan hanya nostalgia, tapi pelajaran hidup,” ungkapnya.
Dari Kampung Produktif Menuju Destinasi Budaya
Bambang Irianto, tokoh masyarakat sekaligus penggerak Kampung Semar sejak awal transformasinya menjadi kampung tematik, menilai Tempoe Doloe 2 sebagai tonggak penting dalam keberlanjutan kampung berbasis budaya.
“Kampung Semar ini contoh nyata bahwa dengan perubahan mindset, warga bisa menciptakan kampung yang produktif dan layak kunjung. Tapi tahap sekarang harus hati-hati: kita butuh regenerasi dan penguatan profesionalisme UMKM-nya,” ujarnya.
Ia berharap Pemkot Malang mulai lebih serius dalam membina dan mempromosikan kampung-kampung tematik yang sudah terbukti menghidupkan ruang kota dengan cara berbudaya.

Merawat Masa Lalu untuk Masa Depan
Tempoe Doloe 2 tak hanya menjual kenangan, tapi juga membangkitkan kebanggaan. Di tengah arus modernisasi dan gempuran budaya luar, Kampung Semar berdiri sebagai penanda bahwa budaya lokal masih hidup — asalkan ada yang merawatnya.
Baca juga:
Duta Seni Pasuruan Gelar Workshop di TIM Jakarta
Dengan segala kesederhanaan dan semangat swadaya, warga membuktikan bahwa membangun ruang budaya tak harus mahal, yang penting adalah cinta, kerja sama, dan niat untuk berbagi.
“Kita bisa ikut zaman, tapi jangan sampai kehilangan budaya,” pungkas Dina, dengan senyum penuh harapan.
Festival ini menjadi perayaan tempo dulu dan juga refleksi akan masa depan yang lebih akrab dengan akar sendiri. Sebab di lorong-lorong Kampung Semar, waktu seolah berhenti sejenak — memberi ruang bagi ingatan, kebersamaan, dan harapan yang tumbuh dari dalam. (nid/yor)