Kanal24 – Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur nyatanya tak melulu bercerita tentang mimpi-mimpi mewujudkan kota bertaraf dunia. Dampak pembangunan menyisakan persoalan bagi warga asli, diantaranya persoalan lahan, penggusuran dan ketakutan hilangnya ruang hidup.
Per Agustus 2022, langkah pemerintah untuk pembangunan IKN semakin progresif. Tercatat, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Insentif Investasi terus digencarkan. Pembangunan wisma untuk para pekerja pembangunan IKN pun terus dikebut.
Pembangunan IKN telah menunjukkan progres yang cukup. Progres itu dibarengi dengan kerusakan lingkungan yang ada. Tercatat, penebangan hutan, pencemaran air, dan kerusakan lingkungan lainnya masih membayangi. Perubahan iklim menjadi tantangan pembangunan sang calon kota dunia ini.
Lokasi pembangunan IKN ini menelan hampir 260 hektare. Rumah-rumah penduduk asli masih terdapat di sana. Sebutlah Suku Balik yang ruang hidupnya digempur oleh megaproyek ini. Tak hanya itu, Sungai Sepaku sebagai andalan masyarakat juga semakin jauh dari kata layak.
Lahan-lahan yang direbut oleh pemerintah menyisakan air mata. Perampasan tersebut menghancurkan kepemilikan lahan Suku Balik. Tanah pun dipatok oleh pemerintah setempat dengan tulisan “tanah milik negara”.
M. Chazienul Ulum, Akademisi FIA UB. (Dok. Rafi)
Menanggapi hal ini, akademisi Fakultas Ilmu Administrasi UB, M. Chazienul Ulum memberikan tanggapannya. “Jika melakukan pembangunan, kita harus meninjau dari sisi alam maupun sosial. Kedua hal itu harus memenuhi syaratnya,” tutur Ulum, sapaannya.
Ia menjelaskan bahwa selain aspek lahan yang diperhatikan, aspek sosial seperti masyarakat dan peradaban harus terjaga dari gempuran pembangunan.
Dalam konteks IKN, ada dua hal yang harus diperhatiikan. “Yang pertama, pembangunan harus didasarkan pada rasionalisasi yang jelas,” kata Ulum. Dalam aspek itu, pemerintah harus memiliki aspek filosofis yang jelas. Alasan dan mengapa IKN dibangun harus disampaikan kepada masyarakat.
Untuk hal yang kedua, ia menyampaikan bahwa hal yang berkaitan dengan teknis operasional. Secara teknis operasional pembangunan IKN harus evidance base, berbasis bukti. “Jika pembangunan membuat destruktif bagi sebuah peradaban, saya pikir harus dikaji ulang,” tuturnya.
Untuk hal yang kedua ialah sesuatu yang sangat esensial. Hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah dari segi operasionalisasi. Saat masa pembangunan ini, terbukti bahwa pembangunan IKN mengakibatkan kerusakan bagi masyarakat lokal. Hal ini sesuai dengan hasil reportase Project Multatuli (1/8/2022) yang menemukan bahwa pembangunan IKN menimbulkan permasalahan penduduk, seperti langkanya air bersih hingga hilangnya ruang hidup dan rasa nyaman.
Mengembalikan hak hidup masyarakat terdampak merupakan tugas wajib pemerintah. “Strategi pemberdayaan harus dilakukan oleh pemerintah. Jangan sampai melupakan sisi sosialnya. Biaya sosial kan ditanggung oleh pemerintah,” jelas Ulum.
Ia menuturkan bahwa pemerintah harus menanggung biaya sosial dari pembangunan IKN tersebut. Biaya sosial itu harus mampu membayar kerugian-kerugian masyarakat yang terdampak pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat dianggap sebagai jalan keluar dari permasalahan di atas. “Pendekatan yang ideal ialah yang dilakukan secara bersama-sama dan mengikutsertakan masyarakat,” ungkapnya.
Ulum mengatakan bahwa pemberdayaan dilakukan dengan pengikutsertaan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Hal ini agar menumbuhkan sense of belonging, rasa saling memiliki antar pemerintah dan masyarakat.
“Hal ini agar peradaban di Kalimantan tidak tereliminasi,” pungkasnya.
Masyarakat yang terlibat dalam perencanaan harus diikutsertakan dalam proses perencanaan sampai dengan tahap operasional. Masyarakat daerah terdampak IKN harus dihidupi kesejahteraanya.
“Mereka harus memiliki akses dalam pelayanan. Hal ini harus menjadi jaminan,” tutur Ulum. Masyarakat punya rasa memiliki bahwa pembangunan IKN milik mereka dan tidak hanya jadi penonton saja.
Pemberdayaan masyarakat terdampak pembangunan IKN harus berkesinambungan dan berkelanjutan sampai kapanpun. Akademisi yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat ini memberikan dua syarat bagi keberlanjutan pemberdayaan masyarakat. Syarat ini harus dipenuhi oleh pemerintah.
“Yang pertama adalah jaminan. Pemerintah harus menjamin bahwa pembangunan IKN dampaknya dapat diidentifikasi dan juga diantisipasi,” jelasnya.
Jaminan itu seperti pembangunan IKN dengan skema 25 persen untuk pembangunan dan 75 persen untuk tutupan lahan. Ia juga mengatakan pemerintah harus memprediksi jangka panjangnya.
Syarat keberlanjutan pemberdayaan yang kedua ialah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus berkelanjutan. “Kebijakan itu mulai dari master plan dan turunannya berupa kebijakan program dan kegiatan,” tutur Ulum. Ia mengatakan bahwa kebijakan pemerintah jangan sampai berubah dan tidak konsisten karena ada kepentingan politik tertentu. (raf)