KANAL24, Jakarta – Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) memprediksi investasi asing langsung (FDI) global sedikit mengalami penurunan pada 2019 seiring aliran FDI ke negara-negara maju yang berada di titik terendah dalam sejarah. Namun dua negara – Indonesia dan Arab Saudi – justru mengalami peningkatan.
Data yang dirilis UNCTAD pada awal pekan ini menyebutkan bahwa FDI secara global turun 1% menjadi USD1,39 triliun pada tahun 2019 dengan latar belakang kinerja ekonomi makro yang lebih lemah dan ketidakpastian kebijakan bagi para investor.
Data UNCTAD tersebut juga memasukkabn merger dan akuisisi (M&A) lintas negara dan pinjaman internal perusahaan kepada afiliasinya di negara lain.
Dirincikan, aliran FDI ke negara-negara maju menurun 6% menjadi sekitar USD643 miliar, dipicu penurunan 15% menjadi $ 305 miliar aliran ke Uni Eropa (UE), dengan Inggris mencatat penurunan 6% menjadi USD61 miliar terkait Brexit.
Adapun AS terus membukukan aliran FDI paling besar, sebanyak USD251 miliar, meski jumlah itu sedikit menurun dibandingkan USD254 miliar pada 2018.
Nah, menurut UNCTAD, Indonesia dan Arab Saudi melawan tren penurunan tersebut.
Investasi langsung ke Indonesia naik 12% menjadi USD24 miliar dengan arus signifikan ke perdagangan grosir dan eceran, termasuk ekonomi digital, dan manufaktur, kata UNCTAD.
Investasi ke Arab Saudi meningkat sebesar 9% menjadi sekitar USD4,6 miliar. Kerajaan itu pada hari Minggu mengumumkan ‘tahun rekor’ untuk investasi, mengatakan FDI meningkat 10,2% menjadi USD3,5 miliar untuk Januari hingga September.
Di Afrika Utara, Mesir terus memimpin sebagai penerima FDI terbesar, dengan kenaikan 5% menjadi USD8,5 miliar. Sebagian besar FDI Mesir masih didorong oleh sektor minyak dan gas tetapi investasi besar juga terlihat dalam real estat dan pariwisata.
Di Afrika Barat, Nigeria menikmati kenaikan 71% menjadi USD3,4 miliar, sebagian besar disebabkan oleh sektor minyak dan gas.
UNCTAD memperkirakan aliran FDI akan naik secara moderat pada tahun 2020 karena ekonomi global membaik meskipun badan tersebut juga menunjukkan bahwa risiko signifikan masih ada, termasuk akumulasi utang yang tinggi di antara negara-negara berkembang dan ekonomi maju, risiko geopolitik dan kekhawatiran tentang pergeseran lebih jauh ke arah kebijakan proteksionis.(sdk)