Kanal24 – Di tengah dominasi film-film Asia Timur di panggung internasional, Indonesia kembali unjuk gigi melalui film Angkara Murka, satu-satunya perwakilan Tanah Air yang lolos kurasi Far East Film Festival (FEFF) 2025 di Udine, Italia. Film karya sutradara Hanindya Baskara ini menjadi sorotan tak hanya karena kualitas artistiknya, tetapi juga karena keberaniannya menyuarakan budaya lokal dalam bentuk yang segar dan mendalam.
Cerita Gelap dari Tanah Jawa
Angkara Murka membawa penonton masuk ke dalam dunia mistis yang dibangun dari warisan budaya Jawa kompleks, spiritual, dan kadang menakutkan. Film ini berpusat pada tokoh utama, seorang dalang muda yang dihantui masa lalu kelam keluarganya. Ketika ia mencoba membangun kembali hidupnya, ia justru terseret lebih dalam ke pusaran dendam dan pengaruh dunia tak kasat mata.
Baca juga:
Ini Dia Deretan Artis Isi Suara Karakter Film Jumbo

Yang menarik, Hanindya tak sekadar membuat film horor mistik. Ia menyuntikkan lapisan-lapisan psikologis dan filosofis ke dalam kisah, mengajak penonton merenungi sisi gelap manusia: amarah, trauma, dan obsesi kekuasaan.
Far East Film Festival: Panggung Bergengsi Asia di Eropa
FEFF dikenal sebagai ajang prestisius bagi film-film Asia untuk unjuk kebolehan di hadapan kritikus dan penikmat film Eropa. Persaingan tahun ini begitu ketat, dengan ratusan film dari Jepang, Korea, China, dan negara Asia lainnya. Terpilihnya Angkara Murka sebagai satu-satunya film Indonesia menunjukkan bahwa sinema Indonesia mampu bersaing dari segi kualitas teknis maupun kedalaman cerita.
Menurut kurator FEFF, Angkara Murka mencuri perhatian karena kemampuannya menyampaikan kisah lokal dengan narasi universal: “It’s a film that transcends language through its atmosphere, cultural richness, and emotional weight.”
Bukan Sekadar Film, Tapi Representasi Budaya
Di balik pencapaian ini, Angkara Murka juga membawa misi budaya. Unsur-unsur seperti gamelan, wayang kulit, hingga falsafah Jawa tentang karma dan warisan dosa menjadi bagian penting dari narasi. Bagi penonton asing, film ini menjadi jendela untuk mengenal kompleksitas budaya Indonesia yang jarang diangkat dalam film-film komersial.
Dita Wulandari, penulis naskah film ini, mengatakan bahwa mereka memang ingin membuat karya yang “tidak malu menjadi Indonesia, tapi juga cukup kuat untuk didengar dunia.”
Keberhasilan Angkara Murka bisa jadi momentum bagi sineas muda Indonesia untuk lebih percaya diri membawa cerita-cerita lokal ke panggung dunia. Di era di mana konten semakin global, justru keunikan budaya lokal menjadi kekuatan utama.
Baca juga:
Tiga Film Netflix 2025 yang Wajib Ditonton
Film ini menjadi bukti bahwa cerita dari desa-desa di Jawa pun bisa berbicara di layar festival film dunia, asalkan dibawakan dengan kualitas dan keberanian.
Angkara Murka bukan hanya tentang kisah gelap dan mistik dari masa lalu, tapi juga tentang masa depan sinema Indonesia. Keikutsertaannya di Far East Film Festival 2025 menjadi bukti bahwa dunia siap mendengar lebih banyak cerita dari Indonesia. Kini tinggal bagaimana kita—pembuat film, pemerintah, dan penonton—mendukung agar lebih banyak film seberani ini lahir dan melangkah jauh. (rey)