Kanal 24, Malang – Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada Pilpres 2024 membawa dampak besar bagi dinamika politik internasional, termasuk posisi strategis Indonesia. Dalam pemilihan yang berlangsung 5 November 2024, Trump, calon dari Partai Republik, berhasil mengalahkan Kamala Harris dari Partai Demokrat. Hasil resmi diumumkan pada 7 November 2024, menjadikan Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-60.
Menanggapi hal tersebut, Adhi Cahya Fahadayna, S.Hub.Int., M.S., dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Brawijaya (UB), menjelaskan bahwa Donald Trump sebagai presiden cenderung akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ofensif. Mulai dari kebijakan imigrasi, perbatasan Amerika-Meksiko, hingga perang dagang USA dan China.
Sementara itu, ia melihat posisi Indonesia saat ini sangat memungkinkan untuk kepentingan strategis, mengingat pemerintah Republik Indonesia telah menjalin hubungan baik dengan Trump sejak tahun 2015.
Trump, selama periode sebelumnya, terkenal dengan pendekatan “America First” yang berfokus pada kepentingan domestik Amerika, meskipun sering kali berdampak signifikan pada politik global. Kebijakan ini mendorong isolasionisme dalam beberapa hal, namun juga menonjolkan pendekatan yang lebih agresif terhadap negara-negara yang dianggap pesaing, seperti China.
Di bawah kepemimpinannya, Amerika mendorong persaingan ekonomi dan pengaruh yang lebih ketat, menciptakan ketegangan di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini membuat banyak negara, termasuk Indonesia, harus bersikap cermat dalam menjaga keseimbangan hubungan dengan Amerika maupun China.
Menurut Adhi, penting bagi Indonesia untuk menempatkan posisi politik luar negerinya secara hati-hati. “Indonesia perlu memanfaatkan situasi global ini untuk mengambil posisi netral yang menguntungkan, karena menjaga hubungan baik dengan kedua negara besar tersebut akan menjadi aset strategis bagi stabilitas regional dan kepentingan ekonomi kita,” jelasnya.
Indonesia memiliki keuntungan besar dengan menjadi mitra dagang yang penting bagi kedua negara tersebut, tetapi hal ini juga menuntut kecermatan dalam merespons kebijakan luar negeri Trump yang kemungkinan besar akan lebih konservatif.
“Ya, saya melihat Indonesia ini berada di posisi yang netral, tetapi saat ini saya masih menunggu kebijakan luar negeri apa yang akan dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto, berhubung masih awal periode,” ucapnya.
Adhi, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa ke depannya Indonesia memiliki keuntungan karena kedua pemimpin, Prabowo dan Trump, memimpin negara di usia tua. Kebijakan yang dikeluarkan akan cenderung konvensional dan konservatif.
Ia juga melihat bahwa Prabowo dan Trump memungkinkan adanya relasi strategis yang terbangun dari faktor idiosinkratis. Selain itu, menurut pengamatannya, kebijakan Prabowo, terutama saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan, lebih memihak ke Barat, dan ini menjadi rencana strategis ke depannya.
Lulusan Northeastern University ini memaparkan bahwa hubungan USA dan China saat ini lebih fokus pada perang dagang daripada berebut dukungan politik dari negara lain. Terlebih dengan kebijakan Trump tahun 2015 yang membatasi produk China masuk ke Amerika dan lebih mengedepankan ekspor barang Amerika ke seluruh dunia.
Melihat hal itu, Indonesia sudah menjadi mitra bagi kedua negara dan menjadi konsumen terbesar bagi keduanya. Dalam politik luar negeri, Indonesia cenderung netral, tidak berpihak, dan ikut andil dalam berbagai konferensi internasional.
“Melihat kondisi perang dagang USA-China ini, Indonesia berada dalam posisi netral karena menjadi mitra dari kedua negara tersebut,” imbuhnya.
Adhi menilai bahwa kunjungan luar negeri pertama Prabowo ke China akan sangat bagus untuk kerja sama ke depannya, baik dalam kebijakan politik maupun ekonomi. Ini menjadi jalan pembuka bagi Prabowo dalam menjalankan politik luar negerinya. Ia juga menanggapi positif setelah kunjungan ke China dilanjutkan dengan kunjungan ke Amerika, yang saat ini cukup strategis untuk membuka jaringan, relasi, dan kerja sama. Melihat dari segi kebijakan, Prabowo cenderung ke Barat. Harapannya, ada gebrakan kebijakan luar negeri di pemerintahan Presiden Prabowo ke depannya.
“Harapan saya ada gebrakan, karena saat ini kita masih belum tahu latar belakang Menteri Luar Negeri seperti apa, dan kita belum tahu kebijakan apa yang akan dikeluarkan oleh Prabowo, jadi perlu untuk dinantikan,” pungkasnya.(haq/din)