Kanal24, Malang – Di tengah meningkatnya tekanan investasi pesisir, reklamasi, dan perubahan ruang laut yang terjadi dalam satu dekade terakhir, Jawa Timur kini menghadapi tantangan serius dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan ekologi. Sengkarut perizinan, maraknya praktik reklamasi tak berizin, hingga munculnya fenomena “pagar laut” yang viral menjadi tanda bahwa penataan ruang laut tidak lagi bisa dipandang sebagai isu teknis semata, melainkan persoalan strategis yang menyangkut keberlanjutan lingkungan, hak masyarakat pesisir, dan kepastian hukum.
Dalam konteks inilah Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB) bersama HAPPI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelar Sosialisasi dan Diskusi Isu Pemanfaatan Ruang Laut di Jawa Timur, Kamis (4/12/2025), di Ruang Oryza, Guest House UB.
Acara ini mempertemukan akademisi, regulator, pakar teknik, ahli hukum, praktisi industri, dan mahasiswa untuk membahas berbagai persoalan mendesak yang muncul dalam pemanfaatan ruang laut, mulai sedimentasi buatan, reklamasi, konflik perizinan, hingga lemahnya tata kelola yang berdampak pada nelayan dan masyarakat pesisir.
Penataan Ruang Belum Ideal, Masih Merugikan Kelompok Rentan
Wakil Dekan III FPIK UB, Dr. Fuad, S.Pi., M.T., menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan kelanjutan diskusi panjang antara kampus dan KKP mengenai perlunya sinkronisasi implementasi kebijakan penataan ruang laut.
“Penataan ruang laut ini sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan, terutama bagi nelayan dan pelaku tambak. Namun implementasinya saat ini belum ideal, bahkan cenderung merugikan kelompok ekonomi yang kurang beruntung,” tegasnya.
Menurut Fuad, kolaborasi lintas bidang menjadi kunci. Dalam forum ini hadir ahli hukum, ahli rekayasa, ahli lingkungan, hingga perwakilan industri seperti Pelindo dan pengelola kawasan industri JIIPE Gresik untuk melihat praktik baik dan tantangan lapangan.
“Kami ingin memastikan bahwa penataan ruang bukan hanya bagus di atas kertas, tetapi benar-benar ideal di tingkat pelaksana. Dari diskusi ini akan dirumuskan rekomendasi bersama untuk menjadi masukan bagi KKP,” ujarnya.
Fuad juga menyampaikan bahwa mahasiswa sengaja dilibatkan karena mereka aktif turun langsung dalam penelitian pesisir.
“Kami berharap isu-isu hari ini menjadi topik penelitian mahasiswa S1, S2, maupun S3. Penelitian harus memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan lingkungan,” tambahnya.
Isu Paling Rumit: Reklamasi, Sedimentasi, dan Konflik Perizinan
Sementara itu Ketua pelaksana kegiatan, Zulkisam Pramudia, menjelaskan bahwa diskusi ini terbagi dalam dua sesi: sosialisasi kebijakan untuk mahasiswa dan sesi rumusan rekomendasi bersama para pakar.
Ia menegaskan bahwa banyak persoalan ruang laut yang membutuhkan perhatian segera.
“Kita akan membahas sedimentasi, reklamasi, dan perizinan. Ada sedimentasi yang dibuat seolah-olah alami, ada reklamasi tidak berizin, hingga pagar laut yang viral kemarin. Semua ini menunjukkan persoalan tata kelola yang harus diperbaiki,” ujarnya.
Zulkisam menekankan pentingnya menjembatani para pemangku kepentingan.
“Sering kali akademisi hanya berhenti di kajian, praktisi bekerja sendiri, sementara pembuat kebijakan bergerak tanpa sinkronisasi. Diskusi seperti ini harus menjadi ruang penyambung ketiganya.”
Acara ini diikuti sekitar 120 peserta, terdiri dari perwakilan KKP, PKSPL Denpasar, akademisi ITS dan UNAIR, HAPPI, mahasiswa asing, serta mahasiswa UB dari berbagai jurusan.
KKP: Ruang Laut Jawa Timur Sangat Kompleks, Butuh Solusi Terintegrasi
Di sisi lain, Plt. Direktur Pendayagunaan Ruang Laut, Dr. Didit Eko P., menegaskan bahwa Jawa Timur adalah wilayah dengan kompleksitas ruang laut tinggi sehingga membutuhkan formulasi solusi yang menyeluruh.
“Diskusi ini penting untuk mencari masukan terkait pemanfaatan ruang laut dari sisi ekologi, ekonomi, sosial, dan hukum. Harapan kami muncul alternatif pemecahan masalah yang dapat ditindaklanjuti dalam forum-forum HAPPI selanjutnya,” jelasnya.
KKP menyambut baik adanya rekomendasi tertulis dari akademisi dan pakar untuk memperkuat kebijakan di tingkat pusat maupun provinsi.
HAPPI: Investasi Besar Mengubah Pesisir, Perlu Penguatan Tata Kelola
Guru Besar FTK ITS sekaligus perwakilan HAPPI, Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA, memberikan pandangan tajam mengenai perubahan pesisir Jawa Timur dalam 10 tahun terakhir.
Menurutnya, kepadatan Pulau Jawa telah mendorong investasi bergeser ke pesisir dan laut, termasuk proyek reklamasi dan pembentukan pulau-pulau.
“Sebagian besar kebijakan investasi itu berpotensi bertentangan dengan rencana tata ruang. Ada banyak ‘akalan-akalan’ yang membuat implementasi kebijakan berjalan tidak sesuai prinsip keberlanjutan,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa perguruan tinggi memiliki misi moral untuk mengurangi dampak sosial-lingkungan dari investasi besar.
“Infrastruktur pesisir tidak boleh hanya dilihat dari sisi ekonomi. Harus ada pertimbangan ekosistem, prinsip integrated coastal zone management, hingga keterlibatan komunitas nelayan. Jika tidak, konflik sosial bisa laten dan itu buruk bagi semua pihak, termasuk investor,” ujarnya.
Prof. Daniel juga menyoroti perlunya meningkatkan kualitas dokumen perencanaan yang lebih spesifik, tidak hanya umum dan bersifat provinsi. Pengawasan menurutnya tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah.
“Pengawasan harus melibatkan masyarakat. Kapasitas governance harus dibangun agar pemanfaatan ruang berlangsung adil, berkelanjutan, dan memberikan kepastian hukum bagi investor,” tutupnya.
Melalui kegiatan ini, FPIK UB bersama HAPPI dan KKP menunjukkan pentingnya peran perguruan tinggi dalam memastikan proses penataan ruang laut berlangsung objektif, berbasis data, dan berpihak pada masyarakat pesisir. Diskusi ini diharapkan menghasilkan rekomendasi implementatif yang mampu menjawab tantangan kompleks di wilayah pesisir Jawa Timur. (Din/Tia)









