Setiap kita pasti mengalami suatu peristiwa yang menghadapkan kita pada suatu pilihan sulit. Biasanya hal demikian dikarenakan sebuah pilihan yang terkait dengan urusan perasaan dan bukan rasional. Sebab jika persoalan yang dihadapi adalah urusan rasional, maka tentu akan sangat mudah untuk diputuskan, yaitu manakala sesuatu tidak memguntungkan secara matematis maka pastilah hal demikian harus kita tinggalkan dan mengambil sesuatu yang lebih menguntungkan. Namun manakala persoalan yang dihadapi adalah terkait masalah rasa atau perasaan maka tentu menghadapinya tidak semudah keputusan matematis itu. Karena berhadapan dengan rasa ada banyak sekali yang akan menjadi pertimbangan. Karena hal ini terkait dengan banyak pihak yang juga memiliki rasa. Semisal apakah kita harus melanjutkan hubungan ataukah memutuskan hubungan dengan seseorang terlebih jika huhungan itu telah begitu lama terjalin dengan sangat intim. Hal demikian tidak mudah diambil keputusan sebab bukanlah sebuah pilihan matematis. Sebab rasa itu dapat hadir dengan tiba-tiba dan hilang dengan tiba-tiba pula tanpa pendorong atau rangsangan apapun. Seseorang yang tidak mampu menghadapinya akan mengalami kehidupan yang membingungkan, penuh bimbang, gelisah hingga stres. Hal ini menandakan bahwa sejatinya perasaanlah yang lebih menguasai diri manusia daripada semata aspek rasional yang logik matematis.
Seseorang dalam menghadapi kebimbangan pengambilan keputusan ini ada beberapa model kecenderungan. Pertama, ada yang menyerah dan berputus asa. Kedua, mengedepankan pertimbangan rasionalitas dengan mengikuti arahan hawa nafsu. Ketiga, semakin mendekatkan diri untuk bertawakkal kepada Allah dengan mencoba mencari petunjuk Allah dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Tentu model kecenderungan yang ketiga lebih layak untuk diikuti. Karena ketawakkalan mencerminkan sikap penghambaan yaitu dengan memasrahkan penuh pengambilan keputusan kepada Allah swt.
Sikap ketawakkalan membutuhkan keyakinan yang utuh kepada Allah swt tanpa ragu, sementara terkait dengan perasaan maka pemegang kendalinya adalah terletak di hati. Artinya persoalan perasaan dan solusi ketawakkalan, keduanya bermuara pada keadaan hati seseorang. Sementara hati bersifat taqallub (suka berbolak balik), hal ini sejalan dengan naik turunnya keimanan. Jika keimanan sedang kendor (futur) maka keyakinan dan ketawakkalan akan melemah, sehingga mudah gelisah dan bimbang. Sementara jika keimanan sedang naik, maka keyakinan dan ketawakkalan akan menguat, menjadikan hati semakin tenang. Pada hati yang tenang maka seseorang akan mudah menerima dengan penuh kepasrahan segala keputusan Allah swt (taqdir) dengan suatu keyakinan bahwa di balik keputusan Allah swt (taqdir) itu pasti ada rahasia kebaikan yang sedang Allah rancang untuk diri seseorang.
Namun untuk mencapai derajat ketawakkalan tidaklah mudah, melalui jalan penuh berliku. Karena sangat tergantung dengan keadaan hati yang selalu berbolak balik. Untuk itu perlu selalu mengkondisikan hati agar bisa tenang dan damai. Langkah dalam mendamaikan hati adalah dengan berdzikir. Yaitu banyak menyebut nama Allah baik melalui ibadah shalat, membaca Al quran ataupun dengan doa dan berdzikir dengan kalimat-kalimat thayyibah.
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d : 28)
Pengulangan dua kali kalimat yang sama sejatinya untuk menegaskan bahwa benar-benar hanya dengan berdzikir sajalah seseorang akan mampu menenangkan hatinya. Banyak menyebut nama Allah akan menenangkan jiwa karena Allah adalah pemilik kehidupan dan yang memegang hati manusia. Manakala lisan dan hati telah menyatu dengan Allah melalui menyebut namaNya maka tentulah akan berbalas dengan kasih sayangNya. Kelembutan hati inilah yang akan menjadikan problem hidup menjadi terasa lebih ringan dihadapi dan lebih mudah menerima ketetapan (taqdir) dari Allah swt.
Termasuk dalam dzikir kepada Allah adalah melakukan istikharah sebagai cara berkonsultasi kepada Allah swt untuk memperoleh petunjuk dariNya tentang langkah terbaik yang akan dilakukan. Tentu istikharah perlu dilakukan dalam keadaan posisi hati netral tanpa sebuah keberpihakan, untuk itu bantuan istikaharah guru atau murabby akan lebih objektif dalam memberikan pertimbangan hingga mampu mencapai ketenangan jiwa. Dalam keadaan seperti inilah maka perasaan akan dijamin lebih tenang dan lebih dapat menerima setiap realitas.
Manakala kita terus menyebutnya dan mendekatinya maka in syaa Allah kita akan menemukan Allah dalam setiap peristiwa bahwa tidak ada satupun peristiwa yang terjadi kecuali disana Allah hadir dengan segala kasih sayangnya yaitu agar manusia sadar bahwa dirinya lemah hingga harus mendekat padanya. Dan bahwa dalam setiap peristiwa ada hikmah kebaikan tersembunyi yang sedang dirancang oleh Allah swt pada diri manusia bahwa kasih sayangNya meliputi setiap detak nafas dan jejak langkah dirinya, apapun realitasnya.
Semoga Allah Swt mengkaruniakan kesabaran dan ketenangan dalam pikiran dan perasaan sehingga memudahkan dalam menemukan Tuhan dalam diri kita dan dalam realitas yang dihadapi. aamiin…