Oleh : Khusnul Hadi Kusuma
Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Untag Surabaya
ASN Pemkab Tuban Jawa Timur
“LARANGAN mudik bagi ASN, TNI/Polri dan pegawai BUMN sudah kita lakukan. Pada rapat hari ini saya ingin menyampaikan, bahwa mudik semuanya akan kita larang.” Pernyataan itu disampaikan Presiden Joko Widodo pada Selasa (21/4/2020). Sementara, kebijakan larangan mudik mulai diberlakukan tiga hari setelahnya, yakni Jumat (24/4/2020). Aparat bergerak cepat. Mereka langsung menutup atau melakukan penyekatan sejumlah ruas jalan yang menjadi jalur warga pulang ke kampung halaman. Berdasarkan data Korlantas Polri, ada 30,193 kendaraan pemudik yang disuruh putar balik selama 12 hari pelaksanaan aturan larangan mudik. Sejumlah kalangan menyambut baik keputusan larangan mudik ini. Banyak yang berharap, kebijakan ini akan menekan laju pandemi. Meski semua sadar, langkah pemerintah ini membawa dampak ekonomi dan memukul para pelaku bisnis transportasi. Namun, baru dua pekan berjalan, kebijakan ini sudah ‘dievaluasi’. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi menyatakan, semua moda transportasi diperbolehkan kembali beroperasi mulai Kamis (7/5/2020). Relaksasi moda transportasi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan, semua moda transportasi akan diperbolehkan kembali beroperasi dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Kebijakan itu diambil sebagai tindak lanjut atas Surat Edaran Menko Perekonomian agar Kemenhub memberi kelonggaran moda transportasi kembali beroperasi. Kemenhub berdalih, kebijakan ini diambil agar perekonomian nasional tetap berjalan. Meski Kemenhub buru-buru menyatakan bahwa aturan ini tak menghapus larangan mudik, namun kebijakan tersebut sudah telanjur membuat bingung publik. Karena, meski mensyaratkan sejumlah kriteria, kebijakan ini membolehkan orang untuk keluar masuk zona merah atau wilayah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Salah satu kriteria yang bisa menggunakan moda transportasi adalah pejabat negara. Selain pejabat negara, mereka yang mendapat kelonggaran adalah petugas yang mendistribusikan kebutuhan logistik, orang yang bekerja pada pelayanan bidang pertahanan, keamanan, dan ketertiban umum seperti kesehatan, kebutuhan dasar, pendukung layanan dasar, fungsi ekonomi, dan percepatan penanganan Covid-19. Pasien yang membutuhkan penanganan medis dan warga yang memiliki kepentingan mendesak juga diperbolehkan untuk bepergian atau pulang. Juga WNI dan pelajar dari luar negeri yang akan pulang ke kampung halaman. Melonggarkan PSBB Tak hanya mengizinkan moda transportasi kembali beroperasi, pemerintah juga berencana melonggarkan PSBB. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam cuitannya di media sosial menyatakan, akan ada relaksasi PSBB. Setali tiga uang, rencana melonggarkan PSBB ini juga dilakukan agar kegiatan perekonomian tetap berjalan. Pemerintah dikabarkan sudah menyusun road map terkait rencana pemulihan ekonomi dengan melonggarkan PSBB ini. Salah satunya adalah membuka kembali operasional industri dan jasa bisnis ke bisnis (B2B). Selain itu, toko, pasar, dan mal juga akan diperbolehkan beroperasi kembali. Pemerintah menargetkan Agustus 2020 seluruh kegiatan ekonomi sudah berjalan normal. Pandemi (bisa) tak terkendali Keputusan membolehkan moda transportasi beroperasi dan rencana melonggarkan PSBB mendapat sorotan dari sejumlah kalangan. Kebijakan ini seolah memunggungi upaya pemerintah dalam menangani pandemi.
Pasalnya, langkah ini bertolak belakang dengan perintah Presiden Jokowi agar kurva kasus Covid-19 turun pada Mei 2020 ini. Kebijakan ini juga bertentangan dengan rencana lima fase pemulihan Covid-19. Pemerintah terkesan tidak konsisten dan tidak tegas. Ulah pemerintah ini bisa membuat Covid-19 makin merajalela dan mewabah ke daerah. Kebijakan ini juga bertentangan dengan fakta jumlah kasus Covid-19 yang terus bertambah. Berdasarkan keterangan Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, hingga Minggu (10/5/2020) jumlah pasien positif virus Corona di Tanah Air mencapai 14.032 orang. Sementara 973 orang sudah kehilangan nyawa akibat virus ini. Kebijakan membolehkan moda transportasi kembali beroperasi berpotensi memicu penyebaran kasus Covid-19 karena penyebaran virus corona mengikuti lalu lalang orang.
Berpindahnya orang dari satu wilayah ke wilayah lain sama saja dengan memindahkan dan menyebarkan virus ini. Kebijakan ini seolah mempersilakan virus corona semakin menggila dan menyebar ke seluruh Indonesia. Celakanya, tak banyak daerah yang memiliki fasilitas kesehatan dan sarana penanganan Covid-19 memadai. Mengapa pemerintah membolehkan moda transportasi beroperasi kembali? Bagaimana implementasi dari kebijakan ini? Bagaimana cara pemerintah memastikan tak ada pelanggaran? Apa dampak dari kebijakan ini? Apa benar pemerintah akan melonggarkan PSBB? Bagaimana teknisnya? Apa benar kebijakan membolehkan moda transportasi beroperasi dan pelonggaran PSBB semata-mata karena alasan ekonomi? Apakah upaya pemerintah memulihkan ekonomi ini sebanding dengan potensi semakin meledaknya pandemi?
Kebijakan Pelonggaran
PELONGGARAN pembatasan sosial atau lockdown dalam memerangi pandemi Korona mulai dilakukan sejumlah negara. Hal ini seiring dengan tren penurunan jumlah kasus baru. Spanyol, negara dengan lebih dari 217 ribu kasus atau terbanyak kedua setelah Amerika Serikat, mulai mengizinkan operasional sektor konstruksi, manufaktur, dan sejumlah jasa. Penambahan kasus baru di Spanyol saat ini menyusut di bawah seribu kasus per hari. Penambahan tertinggi kasus baru di negara ini tercatat sebanyak 9.600 kasus per hari pada 25 Maret lalu. Prancis yang mencatatkan lebih dari 100 ribu kasus juga telah mengumumkan rencana pelonggaran menyusul penurunan jumlah kasus baru di bawah seribu kasus per hari. Sekolah dan pertokoan di Prancis kembali dibuka secara bertahap mulai 11 Mei. Kebijakan serupa juga mulai dilakukan oleh Amerika Serikat, Jerman, Italia, Denmark, Iran, Arab Saudi, India, Korea Selatan, Singapura, hingga Selandia Baru. Cina, sebagai negara asal muasal virus Korona, bahkan telah mencabut lockdown di Wuhan sejak awal April.
Berbagai objek wisata di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai telah dibuka dan kembal ramai oleh pengunjung. Lihat Foto Seorang pembeli yang memakai masker meninggalkan gerai fast food Jollibee di Lucky Plaza, Orchard, Singapura setelah membeli makanannya, Sabtu siang (11/04/2020). Makanan yang dibeli harus disantap di kediaman masing-masing sejak kebijakan Circuit Breaker atau setengah lockdown diberlakukan di Singapura mulai Selasa (07/04/2020)(KOMPAS.com/ERICSSEN) Namun, tak seluruhnya melakukan pelonggaran karena penurunan kasus baru. Di sejumlah negara, kebijakan pelonggaran diambil karena pertimbangan ekonomi meski tren kenaikan jumlah kasus baru masih berlangsung. Ini dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia. Negara-negara tersebut dilaporkan tengah mempersiapkan pelonggaran kebijakan meski penambahan kasus baru belum mereda. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, dalam konferensi pers awal Mei lalu, memahami kesulitan negara-negara dalam mempertahankan pembatasan sosial atau lockdown. Namun, negara-negara ini harus siap untuk kembali melakukan pengetatan jika kasus Korona kembali melonjak.
Lonjakan kasus terjadi di Korea Selatan saat kehidupan di negara tersebut berangsur normal. Lebih dari dua belas kasus baru dilaporkan terjadi di Itaewon pada Sabtu (9/5/2020) lalu yang berkaitan dengan klub malam di kota tersebut. Akibatnya, semua klub malam dan bar diperintahkan tutup. Pemerintah Korsel mulai mengendurkan aturan social distancing sejak Rabu (6/5/2020) lalu. Pelonggaran PSBB di Indonesia Tren pelonggaran agaknya juga mulai melanda Indonesia. Pemerintah tengah mempersiapkan kebijakan pelonggaran atau relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan relaksasi bertujuan agar perekonomian tetap berjalan, namun tetap dalam koridor protokol kesehatan. Ia mengatakan banyak masyarakat yang mengeluhkan kesulitan mencari nafkah. Lini masa relaksasi bertahap untuk memulihkan pekonomian pun beredar di media. Dalam skenario yang disebut-sebut tengah dibahas di Kemenko Perekonomian tersebut, terdapat lima fase pembukaan sektor-sektor perekonomian. Fase pertama dimulai pada 1 Juni dengan beroperasinya industri dan jasa bisnis ke bisnis (B2B). Fase terakhir berlangsung mulai 20 dan 27 Juli dimana seluruh kegiatan ekonomi diharapkan sudah dibuka. Sebelumnya, moda transportasi telah diizinkan kembali beroperasi sejak 7 Mei lalu untuk melayani penumpang dengan kriteria tertentu. Meski demikian, pemerintah menolak langkah ini disebut sebagai relaksasi atau pelonggaran, namun hanya kebijakan turunan dari pembatasan sektor transportasi. Berbagai pihak mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati melakukan relaksasi. Kebijakan ini tanpa landasan data yang valid akan berpotensi mendatangkan malapetaka yang lebih besar.
Kasus baru masih fluktuatif Data penambahan kasus baru di Indonesia sejauh ini masih fluktuatif. Fluktuasi juga masih terjadi di DKI Jakarta, wilayah episentrum penyebaran Virus Korona yang sebelumnya diklaim pemerintah telah memasuki kondisi flat. Selain itu, jumlah kasus terkonfirmasi yang dirilis pemerintah dikhawatirkan belum mencerminkan kondisi riil. Hal ini karena keterbatasan dalam melakukan tes PCR. Kemampuan melakukan 10 ribu tes PCR dalam sehari yang ditargetkan Presiden Jokowi belum mampu terpenuhi. Yang lebih mengkhawatirkan, masyarakat belum sepenuhnya sadar akan protokol kesehatan di tengah pandemi. Sikap acuh masih banyak terjadi bahkan di saat PSBB diberlakukan. Pekan lalu, Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk “berdamai” dengan Covid-19 hingga ditemukan vaksin yang efektif. Yakni, menyesuaikan kehidupan dengan protokol kesehatan agar tetap produktif di tengah pandemi. Inilah yang disebut sebagai new normal atau normal baru. Lantas, siapkah Indonesia melakukan relaksasi dan berdamai dengan Covid-19?
Effek Domino Covid-19
Pemberlakuan lock down serta kebijakan-kebijakan lainnya untuk menghambat penyebaran Covid-19 menyebabkan perputaran roda ekonomi seolah terhenti, hingga pada akhirnya terjadi krisis ekonomi. Sejatinya, setiap krisis bersifat multidimensi. Dampak dari Pandemi Covid-19 mulai dirasakan sejalan dengan turunnya perputaran ekonomi secara drastis. Seluruh lapisan dan aspek dalam mata rantai ekosistem sektor usaha, baik karyawan, pemilik dan pelaku usaha, bank dan perusahaan pembiayaan, pemerintah serta masyarakat terkena dampaknya. Pertumbuhan ekonomi dunia pun diperkirakan akan terkoreksi menjadi negatif pada tahun 2020 ini. Tentu kita semuanya tidak bisa berdiam diri, semua pihak harus bergotong royong berupaya untuk menyelesaikan semua krisis tersebut. Tahapan upaya yg dilakukan biasanya meliputi tanggap darurat, pemulihan, dan normalisasi.
Seperti juga saat kita ingin membantu orang yang sedang sakit ataupun kesulitan, hal yang harus menjadi catatan penting adalah memahami secara persis penyebabnya, serta dampaknya agar bisa dicarikan obat mujarab. Begitu pula dengan krisis ekonomi. Karena setiap krisis mempunyai karakter khusus : penyebab dan dampaknya. Berdampak luas Dalam hampir satu abad terakhir, kita telah melewati tiga krisis besar ekonomi seperti krisis global yang popular dinamakan Great Depression 1929, krisis moneter 1998 dan krisis ekonomi global 2008 yang dipicu subprime mortgage di Amerika.
Namun, berbeda dengan ketiga krisis tersebut, wabah Covid-19 menyebabkan krisis ekonomi dalam skala global yang jauh lebih luas dan berdampak terhadap multi-sektor, termasuk sektor properti. Pertanyaan besar yang mengemuka adalah kapan Pandemi Covid-19 akan berakhir dan seberapa parah dampaknya terhadap perekonomian khususnya sektor properti. Pertanyaan tersebut menjadi penting sebagai dasar untuk kita menentukan sikap dalam membuat rencana aksi. Tentu akan ada banyak versi jawaban atas pertanyaan tersebut. Sebelum pertanyaan tersebut terjawab kita sudah harus membuat program kerja dan melakukan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah kesehatan dan juga ekonomi secara simultan. Khusus untuk sektor properti, menjadi pertanyaan besar para pelaku usaha perihal apa yang saat ini harus dilakukan.
Apakah just wait and see atau tetap berupaya menjalankan usaha. Mengantisipasi krisis ekonomi dan ancaman resesi dunia, banyak negara yang sudah mengeluarkan berbagai macam kebijakan stimulus ekonomi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri sudah menyampaikan tiga kebijakan menyangkut realokasi dan refocussing anggaran. Kebijakan ini dilakukan untuk bidang kesehatan, jaring pengaman sosial bagi warga miskin serta stimulus ekonomi agar pelaku usaha bisa bertahan dan tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran.
Melihat skala krisis ekonomi yang cukup besar, program penanganan krisis dampak Covid-19 harus dilakukan secara masif, terintegrasi dan terstruktur dengan spirit percepatan berlomba dengan waktu di hampir semua sektor bidang usaha. Dari berbagai pengalaman yang telah kita lewati, ekonomi akan kembali berputar setelah krisis usai. Untuk itu, menjadi sangat penting bagi kita semua sanggup melewati masa krisis ini dan siap menyambut kembali normalnya perekonomian, dengan bekal pengalaman kita dalam mengatasi berbagai krisis terdahulu. Situasi pasca Pandemi Covid-19 tentu akan sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Ini sering disebut sebagai The New Normal. Harus disadari betul akan terjadi percepatan berlakunya mazhab abad digital Revolusi Industri 4.0 serta kesadaran akan protokol kesehatan yang sangat ketat. Tentu saja ini berdampak pada perubahan perilaku manusia atau new behavior, yang ujungnya kegiatan perekonomian, termasuk sektor properti.