Kanal24, Malang – Konsumsi makanan bergizi seimbang adalah salah satu kunci penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Namun, hingga saat ini, pola konsumsi makanan sehat di Indonesia masih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kondisi ekonomi dan preferensi masyarakat.
Ningsih, seorang ibu rumah tangga dari Tunggul Wulung, Malang, menyampaikan bahwa keluarganya mengandalkan sayur-sayuran dan bahan makanan murah seperti telur, tahu, dan tempe dalam menu sehari-hari. “Kalau daging ayam jarang, apalagi yang lain. Kalau dapat berkatan ada ayam, biasanya saya berikan untuk anak. Hal ini lantaran biaya hidup yang mahal karena suami kerjanya jadi satpam,” ungkapnya.
Situasi serupa dialami Firda, seorang anak kos di daerah yang sama. Ia mengungkapkan bahwa dengan penghasilannya yang terbatas, ia harus membagi pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, biaya kost, dan membantu keluarga di kampung. “Kalau masak sendiri biasanya ya seperti tahu, tempe, dan sayur-sayuran. Karena gaji saya kerja harus saya gunakan untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari, kost, dan juga kirim uang ke rumah,” jelas Firda.
Kedua cerita tersebut menunjukkan bagaimana tekanan ekonomi memengaruhi pilihan makanan yang dikonsumsi, meski pentingnya gizi seimbang telah diakui secara luas. Menurut Kementerian Kesehatan, gizi seimbang adalah pola makan yang memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai. Konsep ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014.
Pada awalnya, masyarakat Indonesia mengenal konsep “empat sehat lima sempurna” yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. Poorwo Sudarmo pada tahun 1950. Namun, seiring perkembangan ilmu gizi, konsep ini telah diperbarui. Pada tahun 2022, Kementerian Kesehatan memperkenalkan pedoman “Isi Piringku,” yang memberikan panduan tentang jenis dan porsi makanan yang ideal untuk dikonsumsi dalam satu kali makan.
Dalam pedoman tersebut, setengah dari piring idealnya diisi dengan sayur dan buah, sementara setengah lainnya diisi dengan makanan pokok dan lauk pauk. Namun, laporan FAO pada 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 70,8 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 193,7 juta orang, tidak mampu membeli pangan bergizi. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan harga pangan bergizi tertinggi di Asia Tenggara, apabila memperhitungkan daya beli masyarakat.
Konsumsi makanan bergizi yang rendah juga tercermin dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Survei ini menunjukkan bahwa 67,5 persen penduduk Indonesia berusia ≥ 5 tahun hanya mengonsumsi buah segar dan sayur sebanyak 1-2 porsi per hari selama seminggu. Padahal, World Health Organization (WHO) merekomendasikan konsumsi minimal 5 porsi sayur dan buah per hari selama seminggu untuk dikategorikan “cukup.”
Selain itu, 96,7 persen penduduk berusia ≥ 5 tahun masih kurang dalam mengonsumsi sayur dan buah. Sebanyak 11,8 persen bahkan mengaku tidak mengonsumsi sayur dan/atau buah sama sekali dalam seminggu. Kendala seperti akses terbatas dan harga yang tinggi menjadi alasan utama rendahnya konsumsi sayur dan buah. Laporan BPS 2023 memperlihatkan bahwa persentase pengeluaran per kapita untuk sayuran dan buah-buahan di masyarakat Indonesia hanya sekitar 3,93 persen dan 2,24 persen, jauh di bawah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi, serta rokok dan tembakau.
Meskipun demikian, ada tren peningkatan dalam konsumsi protein, baik protein hewani maupun nabati. Laporan BPS menunjukkan bahwa konsumsi daging ayam dan ikan segar mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Rata-rata konsumsi daging ayam meningkat dari 0,53 kg per kapita pada 2019 menjadi 0,68 kg pada 2023, sementara konsumsi ikan dan udang segar juga mengalami kenaikan. Ini menunjukkan adanya perubahan preferensi masyarakat menuju konsumsi protein hewani yang lebih tinggi.
Meskipun pentingnya konsumsi makanan sehat telah banyak disosialisasikan, kenyataannya masih banyak tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Faktor ekonomi, akses terbatas, dan preferensi makanan menjadi hambatan utama. Upaya untuk meningkatkan konsumsi makanan bergizi, seperti program pedoman “Isi Piringku” dari Kementerian Kesehatan, perlu didukung dengan kebijakan yang mempermudah akses dan daya beli masyarakat terhadap makanan bergizi.