Memimpin sejatinya adalah mengelola hati. Mengapa demikian? Memimpin berarti mengelola orang atau sumberdaya khususnya sumberdaya manusia, sebuah potensi utama penggerak roda organisasi. Sementara intinya inti (core of the core) dari manusia adalah hatinya. Hati yang akan menilai dan kemudian merespon setiap interaksi. Efektifitas kepemimpinan, tidaklah semata disebabkan kemampuannya dalam mengelola administrasi organisasi melainkan kemampuannya menyentuh hati para anggota organisasi melalui komunikasi hati pula.
Komunikasi hati adalah proses interaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan cara menghidupkan rasa empati, perhatian dan kepeduliaannya pada orang lain. Memimpin adalah sebuah seni, yaitu seni mengelola hati manusia melalui komunikasi hati. Sebab pesan komunikasi yang keluar dari hati maka pasti akan juga diterima oleh hati. Sementara komunikasi yang keluar hanya dari lisan maka akan diterima oleh telinga kanan dan keluar pada telinga kiri. Manakala seseorang telah tersentuh hatinya maka akan memberikan seluruh potensi dirinya bagi organisasi dan memberikan loyalitas dirinya bagi pemimpin. Sebagaimana dalam sebuah ungkapan disebutkan :
مَا خَرَجَ مِنً الْقَلْب وَصَلَ اِلىٰ الْقَلْب وما خرج من اللّسانْ كانَ حَدُّهُ الْآذَانْ
“Sesuatu yg keluar dari hati akan masuk ke hati dan yg keluar dari lisan maka batasannya adalah telinga”.
Menjadi pemimpin tentu berbeda dengan menjadi seorang manajer. Pemimpin adalah seorang inspirator yang membangkitkan orang lain untuk bergerak bersama menuju tercapainya cita-cita organisasi. Sementara manajer hanyalah seorang pengelola administratif menuju tercapainya tujuan organisasi. Seorang pemimpin akan selalu berpikir untuk memginspirasi orang lain agar bersedia mengkontribusikan seluruh potensi dirinya bagi organisasi melalui ragam potensi yang berbeda kemudian dikelola dan diarahkan dengan baik untuk tercapainya tujuan organisasi. Menjadi peminpin yang demikian dibutuhkan kesediaan untuk peduli dan perhatian pada semua orang yang ada dalam wilayah kepemimpinannya dengan mengedepankan cara pandang positif (positive thinking) pada semua individu organisasi tanpa pandang pilih (like and dislike).
Memimpin sebenarnya cukuplah sederhana, yaitu cukup dengan memberikan perhatian tulus pada setiap orang yang dipimpinnya, maka akan lahir dukungan dan loyalitas, karena kebutuhan hati adalah perhatian, di saat seseorang diberi perhatian lebih, maka dirinya akan merasa telah terpenuhi kebutuhan jiwanya. Pantaslah bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan arahan kepada nabi dan kita semua agar melembutkan hati dalam berinteraksi melalui memberikan perhatian dengan tulus yang dengan demikian seseorang akan memberikan pula loyalitasnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (QS. Ali ‘Imran : 159)
Coba kita perhatikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam berinteraksi dengan umat.
Terkisahlah di salah satu sudut kota Madinah terdapat seorang pengemis buta beragama Yahudi. Setiap kali ada orang yang mendekatinya, dia selalu berpesan, “Jangan pernah engkau dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, dan tukang sihir.” Menjadi kebiasaan nabi , beliau mendatanginya dengan membawa makanan rutin setiap hari untuk menyuapi makanan padanya.
Tanpa bicara sepatah kata pun, beliau lantas duduk di sebelah pengemis Yahudi buta itu. Setelah meminta izin, Rasulullah SAW pun menyuapi orang tadi dengan penuh kasih sayang. Hal itu dilakukannya rutin, bahkan kemudian menjadi kebiasaan setiap hari.Hingga Allah SWT menetapkan taqdirNya. Allah memanggil kekasihnya. Rasulullah SAW wafat, sehingga kepemimpinan ummat diserahkan kepada Abu Bakar.
Suatu hari, Abu Bakar berkunjung ke rumah putrinya, Aisyah. Abu Bakar bertanya kepada anaknya yang juga istri Nabi SAW itu. “Wahai putriku, adakah satu sunnah kekasihku (Rasulullah SAW) yang belum aku tunaikan?” tanya Abu Bakar. Aisyah pun menjawab, “Wahai ayahku, engkau adalah seorang ahli sunnah, dan hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum engkau lakukan kecuali satu saja”. Abu bakar bertanya, “Apakah itu?”. “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang sering duduk di sana,” ungkap Aisyah. Keesokan harinya, Abu Bakar bergegas menemui yahudi buta itu dengan membawakan makanan. Sejenak kemudian setelah mengucapkan salam, Abu Bakar menyuapi yahudi buta tersebut. Namun tiba-tiba, si yahudi yang buta ini membentak, “kamu bukan orang yang setiap hari menyuapiku, dia biasanya terlebih dahulu melembutkan makanan dengan mulutnya sendiri”. Mendengar demikian, Abu Bakar menangis, dan menjelaskan, “Aku bukanlah orang tersebut, aku ini adalah Abu Bakar, sahabatnya.” Mendengar jawaban tersebut, terkagetlah yahudi buta ini, karena selama ini dia telah menghina Muhammad sementara Nabi yang selalu menyuapinya tidak pernah marah. Si yahudi berkata, “Dia yang selalu datang kepadaku setiap pagi dengan membawakan makanan. Dia begitu mulia.” Dihadapan Abu Bakar si Yahudi menyatakan ikrar keislamannya karena kemuliaan akhlaq nabi yang sangat lembut hati.
Demikian pula terhadap seorang kafir yang setiap harinya selalu mengganggu Jalan nabi dengan cacian, lemparan kotoran dan segala macam sebab ketidaksukaan kepada nabi, hingga pada suatu hari orang ini absen tidak melakukan kebiasaannya itu. Sejenak, nabi bertanya kepada para sahabatnya, kemana orang yang selalu menyakiti dirinya itu?. Para sahabat mengabari bahwa ternyata orang tersebut saat ini sedang sakit, hingga dijenguklah oleh Rasulullah, dan ternyata orang yang yang pertama kali menjenguknya adalah Rasulullah. Sebab kepedulian dan perhatian yang lahir dari kelembutan hati Rasulullah ternyata mampu menghidupkan hati yang mati, dan menjadikan orang yang dahulunya memusuhi nabi kemudian mengucapkan ikrar keislamannya. Semua ini berkat hati yang hidup dan kepedulian yang tinggi dari Rasulullah saw.
Demikian pulang yang dipraktekkan oleh seorang pemimpin daerah di suatu kota Jawa Timur. Dia punya kebiasaan setiap pagi untuk mengunjungi warganya yang mengalami kesedihan karena ditinggal mati anggota keluarganya. Hingga pada suatu waktu disaat batas waktu kepemimpinannya berakhir dan mencalonkan kembali pada periode berikutnya maka dia terpilih kembali dengan kemenangan mutlak. Demikianlah sifat dasar manusia bahwa setiap orang senang diperhatikan. Disaat hal ini terpenuhi maka orang lain pasti akan memberikan loyalitasnya. Karena demikianlah manusia, akan menghamba pada kebaikan (الإنسان عباد الإحسان).
Menjadi pemimpin terbaik adalah sebuah pilihan. Jika pemimpin ingin dicintai maka belajarlah mencintai rakyatnya, memberikan perhatian dan kasih sayangnya, maka pasti rakyat akan membalasnya dengan cinta. Karena hidup sejatinya menanam dan memanen, memberi dan menerima. Apa yang kita tanam dengan kebaikan hari ini maka itu pulalah yang akan dipanen ke depan. Oleh karena itu mulailah dari diri kita jika kita ingin mendapatkan balasan kebaikan, jangan berharap orang lain akan memberikan respon kebaikan pada diri kita jika kita tidak memulainya terlebih dahulu. Berikanlah seluruh pikiran dan waktu kita sepenuh hati pada mereka yang telah memberikan amanahnya untuk kita, orang-orang yang berada di bawah kepemimpinan kita, maka selanjutnya bersiaplah menerima dan memanen hasilnya.
Semoga Allah swt selalu membimbing kita di JalanNya dan memberikan ridhoNya. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar