Kanal24, Malang – Keindahan dan kekayaan alam Pulau Gag, salah satu pulau di wilayah Raja Ampat, kini menjadi pusat perhatian publik nasional. Terletak sekitar 42 kilometer dari Pulau Piaynemo—destinasi wisata utama Raja Ampat—pulau seluas 6.500 hektare ini menjadi lokasi eksploitasi tambang nikel oleh PT GAG Nikel, anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk. Aktivitas pertambangan di pulau ini menuai pro dan kontra yang mencerminkan dilema antara ekonomi dan ekologi.
Seperti Apa Pulau Gag?
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hari Suroto, menjelaskan bahwa Pulau Gag merupakan wilayah dengan pesona alam memikat dan potensi mineral yang tinggi. Menurutnya, kekayaan ini ibarat pisau bermata dua. “Pulau Gag memiliki pesona alam yang indah dan potensi mineral, yang merupakan anugerah sekaligus menjadi ujian karena eksploitasi berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan,” ujarnya, Selasa (10/05/2025).
Baca juga:
Terobosan Limbah Telur Tingkatkan Ekonomi Desa
Hari juga mengungkap asal usul nama “Gag” yang berasal dari banyaknya teripang di perairan sekitar pulau tersebut. Teripang merupakan komoditas laut bernilai ekonomi tinggi yang dulu menjadi ciri khas wilayah ini.
Secara topografi, Pulau Gag memiliki daratan bergelombang, dengan perbukitan yang mendominasi bagian barat. Puncak tertinggi berada di Gunung Susu setinggi 350 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan, pekebun, pembuat kopra, hingga penokok sagu. Ketergantungan masyarakat pada hasil laut seperti ikan, udang, lobster, dan teripang menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap ekosistem yang seimbang.
Namun, kondisi tersebut kini berada dalam ancaman. Aktivitas tambang terbuka oleh PT GAG Nikel berpotensi mengubah wajah pulau secara signifikan. Proyek ini diperkirakan bisa mengubah hingga 75 persen daratan Pulau Gag menjadi lubang tambang selama masa operasional 20 tahun mendatang. Hal ini memicu kekhawatiran, terutama dari kalangan pemerhati lingkungan seperti Greenpeace Indonesia, yang menilai eksploitasi ini membahayakan kelestarian ekologi Raja Ampat.
Masuk dalam Wilayah Megabiodiversitas Raja Ampat
Meski Pulau Gag tidak masuk dalam kawasan resmi Geopark Raja Ampat—yang mencakup pulau-pulau utama seperti Waigeo, Batanta, dan Salawati serta kawasan konservasi lainnya—banyak pihak menilai bahwa secara ekosistem, pulau ini tetap berada dalam wilayah megabiodiversitas Raja Ampat. Data UNESCO menyebutkan, kawasan ini menyimpan 64 persen spesies karang dunia dan lebih dari 1.000 spesies ikan, menjadikannya pusat kehidupan laut dunia.
Berdasarkan dokumen UNESCO dan laman resmi Geopark Raja Ampat, Pulau Gag memang terletak di luar cakupan kawasan konservasi resmi. Namun, keberadaannya yang berdekatan dengan pusat ekologi penting tetap menjadikannya wilayah yang semestinya dilindungi.
Di tengah kontroversi ini, Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu menyatakan bahwa sebagian masyarakat setempat mendukung keberadaan tambang karena dinilai membawa manfaat ekonomi. Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Ia menegaskan bahwa tambang tidak berada di wilayah konservasi perairan dan letaknya cukup jauh dari pusat wisata utama di Raja Ampat.
Baca juga:
Inovasi Hijau Mahasiswa Ramaikan Entrepreneur Days
Meski demikian, muncul pertanyaan penting: Apakah nilai ekonomi dari nikel sebanding dengan kerusakan ekologis yang mungkin terjadi? Pulau Gag, yang selama ini dikenal sebagai rumah ekosistem laut dan darat yang masih alami, kini menghadapi tantangan besar. Jika eksploitasi terus berlanjut tanpa mitigasi yang jelas, maka yang selama ini disebut “surga dunia” bisa kehilangan pesonanya yang tak tergantikan.
Fenomena ini menjadi contoh nyata pertarungan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam. Di tengah tagar #SaveRajaAmpat yang menggema di media sosial, masa depan Pulau Gag kini menjadi pertaruhan besar yang tak hanya melibatkan pemerintah dan korporasi, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. (nid)