Oleh : Rida Rimadani*
Program “Sekolah Rakyat” yang saat ini dikembangkan pemerintah oleh Kementerian Sosial selayaknya dibaca sebagai intervensi kebijakan yang “mencoba” menjembatani kesenjangan layanan pendidikan dengan pendekatan berbasis perlindungan sosial. Namun, tetap harus dilihat dari sisi urgensi keadilan dan kesetaraan pendidikan.
Dari sisi tata kelola pendidikan, struktur kelembagaan Sekolah Rakyat harus dirancang dengan kejelasan mandat, garis komando, dan mekanisme akuntabilitas lintas sektor. Bukan dirancang hanya berdasarkan otoritas pendidikan yang seakan-akan ingin memfasilitasi pemerataan pendidikan. Alih-alih berpotensi menyumbang disparitas pendidikan berdasarkan golongan ekonomi maupun sosial.
Munculnya rancangan Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda di tengah pergelutan sekolah regular lainnya mesti harus dipertimbangkan secara matang, bukan semata hanya menambah daftar Panjang Lembaga pendidikan yang “mencari & menguji coba para siswa”.
Dalam pelaksana layanan pendidikan, Lembaga/kementerian yang menjadi leading sector adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, serta pemerintah daerah sebagai penyelenggara dan pembina satuan pendidikan. Sehingga perlu adanya kejelasan struktur birokrasi yang ajeg untuk dapat menjaga stabilitas pelaksanaan pendidikan di masyarakat.
Selain itu, sebagai leading sector, Kemendikdasmen tentunya telah menyusun dan meramu standar pendidikan nasional yang mencakup standar proses pembelajaran mulai dari kerangka kurikulum, asesmen formatif, standar sarana prasarana, hingga layanan dukungan psikososial di setiap satuan pendidikan harus dinyatakan eksplisit dalam pedoman operasional. Tanpa standar mutu yang seragam maka risiko fragmentasi implementasi dan ketergantungan pada figur lokal akan meningkat.
Dalam hal pengelolaan keuangan dan otonomi, desain pembiayaan satuan pendidikan idealnya memadukan skema berbasis input dan berbasis kinerja. Pendanaan dasar (block grant) pada sektor keuangan dipandang penting untuk menjamin keberlangsungan standar pelayanan minimal, sementara komponen insentif berbasis capaian dapat mendorong inovasi lokal dan disiplin implementasi. Namun, desain insentif wajib memperhitungkan konteks kerentanan. Formula pembiayaan yang bersifat progresif dengan memasukkan variabel tingkat kemiskinan, disabilitas, dan akses layanan dinilai lebih adil dan adaptif.
Di sisi lain, otonomi keuangan pada tingkat satuan pendidikan perlu diimbangi dengan pengendalian internal yang jelas seperti pemisahan fungsi perencana, pelaksana, dan pemeriksa, serta transparansi laporan triwulan di papan informasi dan kanal digital; serta audit eksternal tahunan. Transparansi ini bukan semata kepatuhan, melainkan strategi membangun kepercayaan publik.
Terkait otonomi pemerintahan yang bersangkutan, pembagian peran pusat-daerah harus dilaksanakan tegas dan teratur. Pemerintah pusat menetapkan standar mutu, kerangka evaluasi, dan alokasi dasar pendidikan. Sedangkan pemerintah daerah bertugas untuk mengelola perizinan, pengadaan sarana, serta penempatan guru dan tenaga kependidikan. Dalam model tersebut, mekanisme transfer fiskal antar pemerintahan harus dilaksanakan atas dasar perundang-undangan dan juga pemenuhan terhadap persyaratan minimum layanan pendidikan. Hal ini bertujuan agar menghindari fragmentasi penyediaan anggaran pendidikan yang dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan di daerah.
Pada ranah pengelolaan guru, Sekolah Rakyat mengeluarkan peraturan berupa adanya persyaratan PPG bagi calon pelamar patut diapresiasi karena dinilai sebagai upaya menjamin profesionalisme guru. Namun, penerapan syarat ini perlu memperhatikan dua hal yaitu pertama, ketersediaan pasokan guru bersertifikat saat ini belum merata di seluruh provinsi dan wilayah di Indonesia.
Sebagai upaya pemerataan mutu pendidikan, harusnya Sekolah Rakyat justru mampu melakukan grow your own teachers di tempat atau wilayah yang menjadi pendirian sekolah rakyat. Upaya ini dapat dilakukan melalui program residensi mengajar bagi lulusan non-PPG yang dibimbing mentor PPG, atau yang kerap disebut pengimbasan dalam ranah pembelajaran guru dan tenaga kependidikan.
Kedua, prasyarat rekrutmen guru PPG hendaknya tidak menjadi syarat kualifikasi uatama dalam seleksi administratif. Seharusnya dengan memanfaatkan ketersediaan jumlah tenaga kerja guru yang ada saat ini, dilakukan pembinaan, pengembangan kompetensi guru melalui pelatihan remedial pedagogik, micro-credential untuk literasi dan numerasi dasar, serta pelatihan dukungan pembelajaran inklusif.
Dalam ranah sosial geografis, Sekolah Rakyat harusnya terkonsentrasi di wilayah yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ynag masih rendah, dengan harapan sebagai upaya pembangunan sumber daya manusia yang unggul di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa perencanaan pendirian Sekolah Rakyat di wilayah perkotaan tentu menimbulkan kritik tertentu. Hal ini disebabkan karena dapat memperlebar kesenjangan dengan wilayah peri-urban dan pedesaan. Sehingga dalam penetapan wilayah pendirian Sekolah Rakyat harus didasarkan atas rasio sosial ekonomi berupa peta kemiskinan dan indeks keterpencilan daerah.
Dari perspektif kurikulum dan praktik pembelajaran, Sekolah Rakyat sebaiknya menempatkan literasi, numerasi, dan kompetensi hidup sebagai prioritas utama dalam visi dan misi satuan pendidikan yang tetap dalam ranah inklusif dan mudah diakses oleh seluruh golongan masyarakat marjinal. Peserta didik dari keluarga rentan membutuhkan pembelajaran yang memadukan pemulihan capaian belajar dasar, penguatan karakter, dan ketrampilan vokasional ringan yang relevan dengan perkembangan dunia usaha dan industri. Sehingga tata Kelola pembelajaran dan asesmen sebaiknya dilakukan secara formatif, rutin, berpusat pada peserta didik.
Selain itu, keterlibatan orang tua dan komunitas perlu difasilitasi oleh komite sekolah yang terbuka dan responsifOleh karena itu, keberhasilan Sekolah Rakyat sangat ditentukan oleh ketepatan desain kelembagaan, keberanian menerapkan pembiayaan progresif, konsistensi standar profesional guru—dengan PPG sebagai pijakan, bukan satu-satunya tujuan serta strategi spasial yang mengoreksi bias urban.
Apabila semua unsur itu berjalan serempak, Sekolah Rakyat tidak hanya menjadi perluasan bangku sekolah, melainkan piranti kebijakan yang efektif untuk memutus rantai kerentanan dan menaikkan kualitas hidup warga secara berkelanjutan. Sebaliknya, tanpa tata kelola yang kuat, akuntabilitas keuangan, dan strategi pemerataan yang sadar konteks, program berisiko terjebak dalam simbolisme. Dalam hal ini, pilihan ada pada desain dan implementasi: apakah Sekolah Rakyat akan menjadi wujud nyata keberpihakan negara, atau sekadar judul program yang baik di atas kertas.
*) Rida Rimadani, Alumni S1 Administrasi Pendidikan FIA UB, Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan UM