Kanal24, Malang – Cinta itu pancawarna. Biarkan mereka yang dimabuk asmara menafsirkan sendiri rona dan corak perjalanannya. Lucy, perempuan sukses asal New York, dikenal sebagai pekerja keras, independen, dan menarik. Sebagai matchmaker alias mak comblang, ia berhasil menyatukan banyak pasangan. Namun ironisnya, relasi cintanya sendiri justru penuh batu sandungan. Film Materialists (2025) yang tayang di Indonesia mulai 20 Agustus mendatang, menggambarkan dilema Lucy. Diperankan Dakota Johnson, ia terjebak dalam pilihan rumit: Harry Castillo (Pedro Pascal), pria super kaya yang tinggal di penthouse seharga 12 juta dolar, atau John Pitts (Chris Evans), mantan kekasihnya yang masih berjuang sebagai aktor di usia penghujung 30-an. Disutradarai Celine Song, film ini tidak hanya sekadar romcom hangat, melainkan membuka diskusi serius: apakah pernikahan sebaiknya didasarkan pada cinta tulus atau stabilitas finansial?
Baca juga:
Bendera One Piece: Dr. Muktiono Tegaskan Tak Ada Pelanggaran Hukum dan HAM
Dilema Abadi: Love vs Money
Perdebatan cinta versus harta bukan hal baru. Konten-konten media sosial sering menyoroti isu ini dengan cara hitam-putih: menikah demi harta meski tanpa cinta, atau menikah demi cinta meski hidup pas-pasan. Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks. Ada yang bahagia menikah demi uang karena hidupnya stabil, ada pula yang bertahan demi cinta meski finansial terbatas. Kisah nyata dari forum-forum seperti Reddit hingga BuzzFeed Community membuktikan bahwa setiap pengalaman bisa sangat berbeda.
Survei Buka Perspektif Baru
Terinspirasi dari film Materialists, layanan matchmaking Tawkify di Amerika Serikat melakukan survei terhadap seribu responden lintas generasi. Hasilnya, 54 persen memilih cinta, sementara 46 persen condong pada stabilitas finansial. Generasi Milenial (59 persen) dan Gen Z (54 persen) lebih cenderung mengutamakan cinta. Namun, penelitian Bank of America menunjukkan Gen Z justru sangat realistis soal keuangan. Laporan A Window into Gen Z’s Financial Health 2025 menyebut banyak Gen Z harus mengurangi pengeluaran untuk kencan karena beban finansial. Mereka juga lebih terbuka membicarakan batasan ekonomi dengan pasangan—berbeda dengan generasi sebelumnya.
Lebih dari Sekadar Cinta atau Uang
Hal ini membuktikan bahwa pilihan generasi muda bukan semata money over love. Bagi mereka, uang juga berarti perencanaan masa depan, keterbukaan finansial, serta rasa saling menghargai dalam hubungan. Tinder dalam laporan terbarunya menekankan bahwa Gen Z adalah generasi yang reflektif. Mereka menyisihkan waktu untuk menjawab pertanyaan besar tentang hidup dan masa depan, termasuk dalam urusan percintaan. Mungkin, isu ini tidak bisa lagi disederhanakan hanya dalam dikotomi “cinta versus harta”. Bisa saja keduanya berjalan seimbang—selama pasangan mampu saling menghargai, berkomunikasi, dan merencanakan masa depan bersama.
Cinta tetaplah pancawarna. Pada akhirnya, setiap orang berhak menafsirkan corak serta jalan yang ingin ditempuh: memilih cinta, memilih harta, atau padu padan keduanya sesuai strategi hidup masing-masing.(nvl)