Kanal24, Malang – Rektor Universitas Brawijaya (UB), Prof Widodo Ph.D. mengungkapkan bahwa membangun lingkungan riset adalah tantangan utama UB dalam mencapai visinya sebagai Kampu Artificial Intelligence (AI) dan Kampus digital.
“Tantangan terbesar kami untuk mewujudkan keinginan itu (kampus AI dan digital) adalah membangun iklim riset,” kata Prof Widodo pada Sidang Paripurna Majelis Senat Akademik (MSA) yang diselenggarakan di kampus UB Malang dengan tema “Tantangan Pengelolaan PTN BH dalam Meningkatkan Mutu Akademik dan Rekognisi Internasional (11/2/2023).
Menurutnya ada empat langkah untuk membangun lingkungan riset tersebut. Pertama, mengundang para ilmuwan untuk memberikan pengaruh positif pada lingkungan riset dan menetap di kampus. Kedua, meningkatkan jumlah mahasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU). Ketiga, mengelola pendanaan riset dengan baik. Keempat, memberikan peluang bagi staf pengajar untuk melakukan magang di universitas luar negeri yang memiliki reputasi riset yang baik.
“Pendanaan riset tidak selalu fokus pada jumlah, tetapi manajemen pendanaan riset agar diberikan ke orang-orang yang tepat,” ucapnya.
Ia juga menyatakan bahwa saat ini kualitas riset di UB masih kurang baik dan untuk meningkatkan rekognisi internasional, salah satu solusinya adalah dengan mengintegrasikan teknologi Artificial Intelligence (AI) dalam proses riset.
“Kalau mau berkembang harus berkolaborasi salah satunya dengan digital, karena AI sifatnya diverse” ujarnya.
Rektor menyatakan bahwa pendidikan digital akan membuat proses belajar mengajar lebih mudah bagi mahasiswa karena fleksibilitasnya. Namun, agar bisa memasuki sistem pendidikan digital tersebut, maka tata kelola dan perangkat yang dibutuhkan harus disiapkan terlebih dahulu.
Ia menyatakan bahwa UB sudah memiliki supercomputer NVIDIA DGX A100. Supercomputer tersebut dapat digunakan oleh mahasiswa dan dosen yang membutuhkan komputasi tinggi untuk melakukan riset dan publikasi ilmiah.
Di sisi lain, Prof. Hermawan Kresno Dipojono, Ph.D, Ketua Senat Akademik Institut Teknologi Bandung (ITB), menyampaikan bahwa 30 universitas riset di Indonesia perlu memperkuat ekosistem penelitian berkualitas.
“Jumlah penulis dilihat di Scopus untuk MIT itu 50 kali lipat dari jumlah dosennya. Itu tandanya mereka melakukan kolaborasi,” kata Prof Hermawan dalam paparannya dengan judul “Kolaborasi Indonesia Scientific Empire”.
Pada kesempatan tersebut, Prof. Hermawan mengatakan bahwa jika sebuah universitas berani membuka program pendidikan doktoral, berarti mereka siap menjadi universitas riset dan implikasinya adalah memiliki publikasi ilmiah berkualitas yang dapat meningkatkan jabatan dosen dari lektor ke lektor kepala dan profesor.
Menurut Prof. Hermawan, untuk memperkuat riset, kolaborasi sangat penting. Ia menjelaskan bahwa selama 25 tahun terakhir, dia memiliki tim yang terdiri dari mahasiswa S1, S2, S3, dan staf yang bekerja sama. Mereka berkumpul setiap minggu untuk membahas berbagai penelitian.