Kanal24, Malang – Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap teman Tuli masih menjadi tantangan yang dirasakan langsung oleh mahasiswa peserta program Mahasiswa Membangun Desa (MMD) Universitas Brawijaya 2025. Hal ini menginspirasi Kelompok 13 MMD UB untuk menghadirkan kegiatan Deaf Awareness dan Pelatihan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) di Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Dilaksanakan pada Selasa, 22 Juli 2025, kegiatan ini berlangsung di TPQ Bahrul Ulum dan diikuti oleh anak-anak santri, para ustadz-ustadzah, serta sejumlah orang tua. Program tersebut bertujuan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan istilah yang tepat bagi penyandang disabilitas pendengaran dan memperkenalkan BISINDO sebagai media komunikasi inklusif.
Baca juga:
Kokedama TOGA, Solusi Gizi dari Gucialit untuk Warga
“Masih banyak yang menyebut teman Tuli sebagai ‘bisu’ atau menggunakan istilah ‘bahasa bisu’. Padahal itu keliru. Mereka punya identitas budaya yang perlu dikenali, bukan dikasihani,” terang Shahifa Birru, anggota Kelompok 13 yang menginisiasi program.
Membangun dari Akar: TPQ sebagai Titik Strategis
Pemilihan lokasi di TPQ bukan tanpa pertimbangan. Sebagai pusat kegiatan keagamaan sekaligus tempat belajar informal yang dekat dengan masyarakat, TPQ dinilai strategis untuk menanamkan nilai-nilai inklusif sejak usia dini.
Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), Rizky Fadilla Agustin Rangkuti, S.Pi., M.Si., turut hadir dalam pelaksanaan kegiatan ini. Ia mendampingi mahasiswa dalam memberikan materi yang disesuaikan dengan usia dan latar belakang peserta.
Kegiatan dibagi dalam dua sesi utama. Sesi pertama memperkenalkan konsep dasar mengenai siapa itu teman Tuli, termasuk alasan mengapa istilah seperti “tuna rungu” atau “bisu” dianggap tidak sesuai. Penjelasan ini dilakukan dengan pendekatan naratif dan visual yang mudah dicerna anak-anak.
Mengenalkan Bahasa Tangan yang Menghubungkan
Sesi kedua berfokus pada pelatihan BISINDO. Anak-anak TPQ diajak mengenali abjad A sampai Z, serta mempraktikkan cara menyapa, memperkenalkan diri, hingga kosakata sederhana. Suasana pun berlangsung hangat dan interaktif.
Antusiasme peserta terlihat nyata. Beberapa anak langsung mencoba mengeja nama mereka menggunakan isyarat tangan. Tak hanya santri, para ustadz-ustadzah dan orang tua juga ikut belajar dan menirukan gerakan yang diperagakan.
“Setelah program selesai, anak-anak kalau mau bicara sama aku udah berusaha eja pakai isyarat. Keren banget sih. Mereka jadi lebih peka, lebih berani komunikasi meskipun dengan cara yang berbeda,” ungkap Shahifa penuh haru saat mengenang momen itu.
Inklusi sebagai Gerakan, Bukan Sekadar Acara
Dari program ini, sejumlah luaran berhasil dicapai, seperti media edukasi BISINDO dasar dan dokumentasi kegiatan. Namun lebih dari itu, perubahan sikap dan meningkatnya empati sosial menjadi dampak paling signifikan yang dirasakan tim.
Deaf Awareness dan pelatihan BISINDO ini turut mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) poin 10: Mengurangi Ketimpangan. Dengan mengenalkan cara komunikasi yang dapat diakses semua pihak, kegiatan ini secara langsung mendorong kesetaraan hak dan inklusi sosial.
Baca juga:
Mahasiswa UB Hidupkan Budidaya Lele Galon Hemat Air
Harapan yang Tak Hanya Berakhir di Hari Kegiatan
Tim MMD berharap kegiatan ini tak berhenti pada satu kali pertemuan. Kesadaran yang telah tumbuh, terutama pada anak-anak, bisa menjadi akar dari kebiasaan baru yang lebih ramah disabilitas.
Harapannya, masyarakat Desa Klampok dan sekitarnya dapat menjadi contoh bagi wilayah lain dalam membangun ruang interaksi yang setara, di mana teman Tuli tak hanya dipahami, tetapi juga diterima dan diberdayakan. (han)