Kanal 24, Malang – Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) dari Kelompok 28 Mahasiswa Membangun Desa (MMD) menyelenggarakan kegiatan edukatif bertema pendidikan inklusif di SDN 1 Karangnongko, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, pada (15/07/2025). Kegiatan ini bertujuan menanamkan nilai empati dan kesetaraan sejak dini dengan mengenalkan cara berkomunikasi yang inklusif kepada siswa sekolah dasar.
Program bertajuk Desa Inklusi: Membangun Kesadaran dan Komunikasi Aksesibel ini merupakan bentuk nyata kontribusi mahasiswa Universitas Brawijaya melalui kegiatan Mahasiswa Membangun Desa (MMD). Program ini diinisiasi untuk memperkenalkan pentingnya penerimaan terhadap keberagaman sejak bangku sekolah. Fokus utama kegiatan adalah memperkenalkan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) serta simulasi komunikasi aksesibel agar siswa lebih memahami tantangan yang dihadapi oleh teman-teman dengan disabilitas.
Baca juga:
MMD UB Kenalkan Seni Rupa Lewat Tanah Liat
Kegiatan ini menjadi lebih istimewa karena Jesslyn Alvina Limanto, pemateri utama sekaligus mahasiswa Tuli dari Ilmu Komunikasi UB, memimpin sesi edukatif dengan pendekatan langsung dan interaktif. Jesslyn menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan hanya tentang belajar bahasa isyarat, tapi juga tentang membangun sikap saling menghargai.
“Kami ingin anak-anak belajar sejak dini bahwa semua orang berhak dipahami dan dihargai, apapun kondisi mereka,” ujar Jesslyn.
Kegiatan dilaksanakan di awal tahun ajaran baru agar nilai inklusi yang ditanamkan dapat terus diterapkan selama proses belajar-mengajar. Para siswa diajak mengikuti berbagai simulasi komunikasi dan pengenalan BISINDO secara menyenangkan, seperti permainan peran dan latihan gerak tangan sederhana.
Kepala SDN 1 Karangnongko, Gatot, menyampaikan dukungan penuh terhadap kegiatan ini.
“Kami sangat mendukung program seperti ini karena anak-anak di desa juga perlu dikenalkan pada pentingnya keberagaman dan komunikasi yang tidak diskriminatif,” ujarnya.
Sesi pelatihan berjalan dinamis dengan berbagai aktivitas interaktif. Siswa belajar bagaimana mengenali bentuk-bentuk hambatan komunikasi dan mencoba praktik berinteraksi menggunakan bahasa non-verbal. Simulasi berjalan dengan mata tertutup atau telinga ditutup pun digelar agar siswa memahami pentingnya empati.
Jesslyn juga menegaskan bahwa perubahan menuju masyarakat inklusif tidak hanya bisa dicapai lewat kebijakan formal.
“Kami percaya, inklusi bukan hanya urusan kebijakan, tapi juga soal bagaimana kita berperilaku sejak kecil,” tambahnya dalam sesi pembukaan.
Kegiatan ini juga didukung penuh oleh para guru. Mereka dilibatkan dalam sesi diskusi agar pendekatan inklusif dapat diterapkan secara berkelanjutan dalam kegiatan belajar di kelas. Tim MMD memberikan panduan dasar dan materi visual kepada guru agar bisa mengadaptasi strategi pengajaran untuk siswa dengan kebutuhan komunikasi khusus.
Keikutsertaan Jesslyn sebagai pemateri Tuli juga menjadi pelajaran tersendiri bagi siswa dan guru. Ia menjadi contoh nyata bahwa penyandang disabilitas mampu menjadi pendidik dan fasilitator, sekaligus mematahkan stigma bahwa Tuli tidak bisa mengajar atau berkontribusi secara aktif dalam kegiatan sosial.
Baca juga:
UM – KPK Perkuat Sinergi Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
Meski hanya berlangsung satu hari, kegiatan ini memberikan kesan positif dan menumbuhkan antusiasme siswa untuk terus belajar tentang komunikasi inklusif. Banyak dari mereka berharap kegiatan serupa bisa diadakan kembali.
Tim MMD berharap kegiatan ini bisa menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain di wilayah pedesaan untuk lebih terbuka terhadap pendekatan pendidikan inklusif. Dukungan dari pemerintah desa dan instansi terkait sangat dibutuhkan agar gerakan komunikasi aksesibel dapat diterapkan secara luas dan berkelanjutan.
Dengan mengenalkan komunikasi yang ramah sejak dini, MMD UB berharap tercipta lingkungan sekolah yang tidak hanya mengedepankan akademik, tetapi juga membentuk karakter toleran dan inklusif bagi generasi masa depan. (han)