Kanal24, Malang – Forum Moderasi Beragama yang digelar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) pada Jumat (19/09/2025), menjadi wadah refleksi penting tentang arti toleransi dan pluralisme. George Da Silva, Direktur Lembaga Analisis Politik dan Otonomi Daerah, menegaskan bahwa kunci moderasi ada pada sikap saling menghormati dan tidak memaksakan kehendak dalam keyakinan. Ia menekankan tiga hal pokok: bertoleransi, tidak memaksa orang untuk berpindah keyakinan, serta menjadikan cinta kasih sebagai dasar perilaku dalam kehidupan sosial.
“Semua agama mengajarkan kebaikan. Kita harus saling memberi teladan, saling memaafkan, dan saling menguatkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum meminta ampun kepada Tuhan, kita harus mampu menjaga relasi dengan keluarga, teman, dan masyarakat,” ujar George. Menurutnya, agama tidak boleh menjadi alat saling mencela, tetapi justru harus menjadi dasar untuk membangun kesadaran bersama bahwa meskipun berbeda keyakinan, manusia tetap memiliki satu jiwa kemanusiaan.
Baca juga:
Putusan MK dan Tantangan Implementasi Nyata

Peran Kampus sebagai Miniatur Pluralisme
George menambahkan, kampus memiliki tanggung jawab strategis dalam membentuk budaya toleransi. Ia mendorong agar Universitas Brawijaya, melalui fakultas-fakultasnya, menjadi pionir dalam mempraktikkan keberagaman yang sehat. “Keberagaman dan toleransi harus dimulai dari kampus. Dari kampuslah contoh itu bisa menyebar ke masyarakat,” ujarnya. Ia menilai, di beberapa wilayah Indonesia, praktik toleransi sudah mengakar kuat, namun di sebagian daerah lain masih terdapat sekat-sekat sosial. Faktor kepemimpinan tokoh agama dan institusi pendidikan berperan penting untuk menumbuhkan kesadaran toleransi ini.
Suara Mahasiswa tentang Inklusivitas
Sementara itu, Marcello Kusuma Sanjaya, Ketua Umum PMK Gamael FIA UB, menggarisbawahi pentingnya pluralisme di kampus. Ia menilai bahwa Universitas Brawijaya memiliki potensi besar sebagai kampus inklusif, namun masih perlu proses panjang untuk benar-benar menghadirkan ruang keberagaman yang setara.
“Sejak saya masuk di UB pada 2023, saya belum melihat inklusivitas yang sepenuhnya terwujud. Misalnya, kami pernah kesulitan mendapat izin beribadah. Namun tahun ini, berkat dukungan BEM FIA melalui BMW 2025 dan Kementerian Agama, akhirnya kami bisa mendapatkan ruang beribadah di FIA UB. Itu pencapaian besar yang harus kita syukuri bersama,” ungkap Marcello.
Ia menambahkan bahwa mahasiswa memiliki peran vital untuk menjaga harmoni. Saling menghormati, membantu, dan berkolaborasi lintas agama maupun suku adalah wujud nyata dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Menurutnya, pluralisme bukan sekadar jargon, melainkan nilai hidup yang harus terus dijaga di tengah keberagaman kampus.

Baca juga:
Pelatihan Hukum Acara MK Kupas Isu Konstitusional
Harapan untuk Masa Depan Pluralisme
Melalui forum ini, baik akademisi maupun mahasiswa sepakat bahwa moderasi beragama adalah fondasi penting bagi masa depan bangsa. Diskusi yang berlangsung interaktif dengan kehadiran lebih dari seratus peserta menunjukkan tingginya antusiasme sivitas akademika dalam memperkuat toleransi.
George berharap nilai-nilai toleransi yang ditanamkan di kampus dapat menjadi gerakan sosial yang lebih luas, sementara Marcello menegaskan komitmen mahasiswa untuk menjaga keberagaman di Universitas Brawijaya. Harapan bersama yang muncul adalah terwujudnya kampus yang inklusif, tempat semua mahasiswa tanpa terkecuali dapat menjalankan keyakinan dengan tenang, serta menumbuhkan budaya saling menghormati sebagai bekal menghadapi tantangan pluralisme Indonesia. (nid/dht)