oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Setiap orang dibesarkan dalam hidup bersama, tidak ada satupun orang yang hidup menyendiri tanpa adanya interaksi dengan orang lain. Kehidupan bersama tentu diikat dalam kesepakatan dan aturan bersama. Disaat seseorang bersepakat untuk melakukan interaksi bersama dengan konsesi aturan yang disepakati bersama untuk mencapai tukuan bersama maka itulah yang disebut dengan organisasi. Inti dari organisasi adalah mengelola kehidupan bersama agar tercipta realitas hidup yang lebih baik, inilah yang disebut dengan proses manajemen. Sementara inti manajemen adalah adalah siapa yang memimpin proses pengelolaan itu, yang mengorganisasikan semua potensi yang ada, memandu dan mengarahkan semua potensi dalam suatu langkah bersama dalam mencapai tujuan, inilah yang disebut kepemimpinan.
Artinya bahwa inti dari kepemimpinan itu adalah bagaimana seorang pemimpin dalam mengambil keputusan. Setiap orang dalam menjalani aktivitas hidupnya pasti mengambil keputusan. Namun dalam kehidupan bersama atau berorganisasi bukan semata pada adanya keputusan, bahkan yang jauh lebih penting adalah bagaimana proses dalam pengambilan keputusan itu sehingga pada saat keputusan telah diputuskan maka orang lain, anggota organisasi bersedia menjalankan keputusan tersebut. Disinilah masalahnya, apakah keputusan itu akan diambil dengan cara melibatkan semua orang, sebagian orang atau berdasarkan suara terbanyak (voting) atau cukup diputuskan sendiri oleh pimpinan (otoriter).
Pendekatan profetik memberikan arahan sekaligus sebagai ciri khas mekanisme dalam pengambilan keputusan yaitu dengan cara musyawarah. Hal ini berdasarkan pada teks sumber wahyu berikut :
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya” (QS.Ali-Imran, ayat 159).
Dan juga dalam FirmanNya :
وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka, (QS. Asy-Syura, Ayat 38)
Begitu pentingnya mekanisme musyawarah dalam pengambilan keputusan hingga dijadikan nama surat dalam alquran. Musyawarah dimaksudkan untuk untuk mewujudkan keadilan diantara manusia agar keputusan mendapatkan banyak pemikiran, pertimbangan dan sudut pandang dari banyak orang dan agar mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan merasa terlibatkan dan nantinya turut bertanggungjawab atas segala konsekwensi dampak dari pengambilan keputusan itu. Sehingga setiap orang merasa memiliki keputusan dan terlebih dari itu merasa memiliki organisasi.
Adapun yang dimaksud dengan musyawarah menurut kalangan Salaf adalah musyawarah sebagai tukar pikiran antara para ahli dalam suatu permasalahan kemudian hasil dari musyawarah
tersebut dijadikan ketetapan. Sedangkan menurut definisi modern, musyawarah adalah pengambilan keputusan melalui berbagai macam pendapat para ahli pada hal-hal yang berkaitan dengan keputusan-keputusan tersebut pada setiap kondisi global.
Kemudian bagaimana jika terjadi kebuntuan pada musyawarah, apakah diperkenankan mengambil keputusan melalui voting (suara terbanyak) ?
Dalam kaitan di atas DR Yusuf Qordhowi berkata dalam kitabnya Fatawa Mu’aashirah, Juz II hal 636 sebagai berikut:
“Kemudian di sana terdapat urusan-urusan yang tidak masuk ke dalam arena pemungutan suara dan tidak ada kaitannya dengan pemungutan suara, karena urusan-urusan tersebut merupakan ketetapan yang tidak dapat diubah, kecuali jika masyarakat itu sendiri yang berubah menjadi
tidak muslim. Tidak ada istilah pemungutan suara dalam syari’at-syari’at yang sudah pasti prinsip-prinsip agamanya, dan hal-hal yang sudah diketahui secara pasti dalam agama. Tetapi pemungutan suara hanya ada dalam masalah-masalah ijtihadiyyah yang mencakup banyak pendapat, di mana orang-orang di dalamnya saling berbeda pendapat; misalnya dalam pemilihan salah satu kandidat yang akan menduduki suatu jabatan. Contoh yang lain, pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas, atau untuk mengatur pembangunan sarana-sarana perdagangan, industri, rumah sakit dan lain-lain yang termasuk apa yang disebut para Fuqoha sebagai Mashalihul Mursalah (Kepentingan Umum). Seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau menghentikannya,
mewajibkan pembayaran pajak atau meniadakannya dan lain sebagainya. Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ini, apakah harus ditinggalkan begitu saja atau sebaliknya harus dipecahkan ? Apakah tarjih (penguatan suatu
pendapat atas pendapat lain) harus dilakukan tanpa menunjukkan pendapat mana yang lebih kuat? Ataukah harus menujukkan pendapat mana yang lebih kuat ? Akal, hukum dan realitas akan mengharuskan dijelaskannya pendapat mana yang lebih kuat. Dan pendapat mana yang lebih kuat dalam suatu perbedaan pendapat adalah yang mendapatkan suara mayoritas.”
Kesimpulan dari pendapat Yusuf Qordhawi ini yaitu jika yang bermusyawarah tersebut adalah sama-sama ahlinya, maka pendapat mayoritas bisa dijadikan ketetapan. Namun jika yang bermusyawarah tersebut adalah orang yang bukan ahlinya dan yang ahli adalah satu orang saja maka pendapat mayoritas di sini tidak berlaku, namun kembali pada pendapat seorang ahli tersebut.
Sebagaimana Rasulullah bermusyawarah dan mengikuti pendapat mayoritas dalam kasus perang Uhud. Diriwayatkan Abdullah bin Abbas meriwayatkan, “Rasulullah mengambil pedang yang diberi nama ‘Dzulfikar’ dari rampasan perang di Badar. Rasulullah ingin tetap berada di Madinah untuk memerangi kaum musyrikin ketika mereka Mereka datang untuk berperang di Uhud. Namun, sebagian orang yang tidak ikut Perang Badar berkata, ‘Mari kita keluar ke Uhud untuk memerangi mereka, mungkin kita akan memperoleh kemuliaan seperti yang mereka capai di Badar.’ Mereka terus berusaha meyakinkan Rasulullah sampai beliau mengenakan baju besi, Ketika beliau sudah mengenakan baju besi, mereka mulai menyesali keputusan mereka dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, tetaplah di Madinah, karena semuanya terserah engkau.’ Beliau menjawab, Tidak selayaknya bagi seorang nabi menanggalkan baju besinya ketika dia sudah mengenakannya, sampai Allah memutuskan di antara mereka (Nabi dan para pengikutnya) dan musuh mereka’.” (HR. Hakim, no. 2588).
Sebagaimana telah kita cermati dalam riwayat tersebut bahwa Rasulullah SAW ikut bergabung dengan pendapat mayoritas pada saat terjadi perang Uhud dan keluar untuk berhadapan dengan orang-orang musyrik yang berada di luar Madinah, padahal pada saat itu Rasulullah SAW dan para pembesar sahabat berpendapat untuk menetap dan mengadakan peperangan di dalam Madinah. Hal itu terjadi karena kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan berada di luar Madinah dan kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan harus ada di dalam Madinah adalah sama-sama ahlinya di bidang peperangan.
Hal ini berbeda dengan kasus perang Badar, Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang posisi strategis pasukan dan ketika Rasullullah memerintahkan berhenti para pasukan pada tempat yang jauh dari sumber air, namun sahabat Al-Hubab bin Al-Mundzir berpendapat lain, yaitu lebih baiknya pasukan diletakkan di dekat sumur. Pendapat Al-Hubab ini ternyata disetujui oleh Rasulullah dan beliau mengikuti pendapat tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam mengatakan, “Rasulullah sampai di Badar dan mendirikan perkemahan di sana. Al-Hubab bin Mundzir bertanya, ‘Posisi yang engkau pilih ini apakah dari Allah sehingga kami tidak boleh pindah dari sini ataukah ini pendapat, sebuah strategi perang?’ Rasulullah menjawab, Sesungguhnya ini pendapat, strategi perang.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini bukan posisi yang bagus. Kita harus memindahkan orang-orang ke sumber air yang paling dekat dengan musuh dan berkemah di sana. Lalu kita kuras semua sumur yang ada, membuat penampungan dan mengisinya dengan air. Kemudian kita akan memulai perang, dan kita akan punya air untuk diminum sementara mereka tidak punya sama sekali.’ Rasulullah bersabda, Kamu mengatakan pendapat (yang benar). Rasulullah kemudian berdiri dan diikuti orang-orang, mereka bergerak sampai di sumber air terdekat dengan musuh kemudian membangun perkemahan di
sana. Setelah itu, beliau memerintahkan agar sumur-sumur dikosongkan, lalu mereka membangun penampungan di atas sumur-sumur dan diisi dengan air.”
Dalam kasus ini ada beberepa tafsiran sebagai berikut:
Pertama, Mendengar penjelasan Al-Mundzir tentang taktik perang, para sahabat yang lain setuju dengan pendapatnya sehingga Rasulullah mengambil pendapat mayoritas sahabat yang sepakat dengan pendapat Al-Mundzir.
Kedua, atau, Al-Hubab bin Al-Mundzir adalah satu-satunya orang yang ahli perang. Hal ini dapat dilihat dari diamnya para sahabat (tidak membantah pendapatnya) sehingga berdasarkan kenyataan itu Rasulullah memilih pendapat Al-Mundzir karena keahliannya, meskipun ia sendirian.
Kesimpulannya bahwa mekanisme pengambilan keputusan profetik bersifat partisipatif melibatkan setiap orang dalam pengambilan keputusan agar merasa memiliki rasa tanggungjawab bersama dengan penuh amanah. Musyawarah bukan mendasarkan pada keputusan suara terbanyak melainkan pada rasionalitas penuh pertimbangan dengan melibatkan para ahli yang berkompeten. Sehingga mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan adalah para ahli. Dan jika yang melakukan musyawarah adalah para ahli, maka pendapat mayoritas bisa dijadikan ketetapan. Namun jika yang bermusyawarah adalah orang yang bukan ahlinya atau tidak berkompeten sementara yang berkompeten atau yang ahli hanyalah satu orang dari sekian banyak orang yang ada maka pendapat mayoritas di sini tidak berlaku, namun kembali pada pendapat seorang ahli yang berkompeten tersebut.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB