KANAL24, Malang – Negara-negara yang katanya menganut kebebasan berpendapat, kebebasan pers dan menghargai pendapat individu itu perlu berpikir ulang (rethinking) lagi. Karena tidak ada kebebasan yang mutlak, kebebasan mesti terbatas, meskipun tidak ada yang membatasi.
Pendapat itu dikemukakan Pakar Komunikasi FISIP-UB, Rahmat Kriyantono, S.Sos., M.Si., Ph.D., Ahad (31/10/2020) kepada Kanal24 terkait pemuatan karikatur yang dinilai umat Islam menghina Rasulullah Muhamad di Media Perancis.
Doktor lulusan school of Communication Edith Cowan University, Western Australia itu menyebutkan, peristiwa penghinaan ini bukan pertama kali terjadi, artinya selalu berulang di beberapa negara Eropw, seperti Denmark dan Perancis.
Kebebasan dikatakannya ada, tetapi kebebasan mutlak tidak akan pernah ada. Karena kebebasan itu pasti dibatasi sesuatu atau dibatasi kebebasan orang lain. “Orang tentu bisa berlari, tetapi tentu tidak bisa lari jauh sekali tanpa berhenti, misalnya sampai ratusan km,” ujarnya.
Baca juga:
Presiden Jokowi: Indonesia Mengecam Pernyataan Presiden Prancis yang Hina Islam
Rahmat yang juga Ketua Prodi S2 Komunikasi itu menilai, media massa harus paham makna kebebasan pers. Kebebasan pers bukan bebas sebebas-bebasnya. Tapi, bebas yang bertanggung jawab, yakni tanggung jawab memajukan bangsa, tanggung jawab menjaga harmoni dan keutuhan bangsa dan masyarakat dunia.
“Kebebasan media massa harus dapat mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul dari dimuatnya berita,” tegasnya
Karena itu Rahmat menegaskan, karikatur sebagai bentuk ekspresi individi seharusnya ada batasnya. Yakni jangan sampai mengganggu kepercayaan umat Islam. Kebebasan pers harus menghormati kebebasan beragama orang lain.
Presiden Perancis Macron, menurut Rahmat, seharusnya meminta maaf karena ada elemen masyarakat Prancis yang melukai hati umat Islam.
Tapi, umat Islam harus bijak meresponnya. “Saya tidak setuju juga atas aksi pemenggalan itu. Persoalan itu lebih baik diselesaikanmelalui jalur hukum,” tegasnya. (mon)