Oleh L. Tri Wijaya, Ph.D.*
Pandemi Covid-19 benar- benar menguras seluruh tenaga umat manusia diseluruh belahan bumi ini, untuk dapat bertahan hidup dan menyesuaikan perilakunya dengan dengan standar protokol kesehatan yang berlaku. Segala aktivitas yang bersifat interaksi sosial secara langsung sangat dibatasi, alih- alih menjaga hubungan sosial tersebut, justru kita dipaksa menyesuaikannya dengan aktivitas di dunia maya atau secara online.
Begitu terasanya perubahan tersebut, sehingga secara tidak langsung kita khususnya di Indonesia, dipertontonkan dengan betapa banyak dan besarnya ego sektoral dan individu masyarakat. Parameter sederhana yang dapat kita amati adalah, seberapa taatnya individu dalam menerapkan protokol kesehatan diruang publik.
Selain itu, kita pun dapat melihat seiring berjalannya waktu, begitu padatnya aktivitas sosial, pendidikan hingga ekonomi kita bertumpu pada kemampuan teknologi dan segala perangkat pendukungnya. Perubahan besar tersebut tentu akan sangat mempengaruhi pola interaksi sosial dimasyarakat.
Namun, perlu kita ingat,berbicara tentang ego individu manusia ditengah pandemi ini, tidak sedikit dari kita sebagai umat manusia yang menyadari bahwa salah satu nikmat Tuhan YME yang bernama ego dan hawa nafsu dapat menjadi musuh terbesar dalam kehidupan kita. Ada pepatah yang mengatakan “Seribu kawan terlalu sedikit, tapi satu musuh saja kebanyakan”.
Walaupun mungkin kita dapat menaklukan beribu-ribu musuh sekalipun dalam puluhan bahkan ratusan kali pertempuran, namun sesungguhnya pemenang pertempuran yang sebenarnya adalah orang yang dapat menaklukan dirinya sendiri atas ego dan hawa nafsu yang cenderung negatif. Menaklukan diri sendiri terkait ego dan hawa nafsu jauh lebih baik daripada menaklukkan hal lain.
Dalam konteks kehidupan social bermasyarakat, kita dapat memahami ego sebagai salah satu faktor untuk menunjukkan rasa solidaritas sosial dan mempertahankan rasa percaya diri. Tetapi ego yang dibiarkan liar, tidak terkontrol dan berlebihan akan membawa dampak negatif. Dampak yang negitif itu bukan saja berimbas kepada diri sendiri tetapi juga kepada realita relasi kemanusiaan kita.
Jika kita mengamati dalam kehidupan sehari- hari selama pandemic berlangsung, banyak ditemukan tanda dari seseorang yang memiliki ego negatif dan berlebihan antara lain seperti mudah sekali tersinggung ( atau Bahasa millennialsnya “baperan” ) bahkan menyalahkan orang lain, merasa tidak aman bila perilaku, status, jabatan/posisinya terusik, dan lain sebagainya.
Pribadi egois adalah pribadi yang melihat segala sesuatu dari kacamatanya. Dia tidak bisa memahami pikiran orang, perasaan orang, jadi selalu menuntut orang untuk mengikuti pendapatnya.
Pribadi egois juga adalah pribadi yang mementingkan dirinya sendiri, dia tidak bisa mempertimbangkan kebutuhan orang, dia senantiasa mengedepankan kebutuhannya di atas kebutuhan orang. Itu sebabnya kita simpulkan bahwa pribadi yang egois adalah pribadi yang susah sekali untuk tulus, sebab ujung-ujungnya untuk kepentingannya sendiri tanpa melihat dampaknya bagi individu lainnya.
Jika kita telaah kembali berdasarkan konteks kehidupan beragama khususnya Islam, manusia terbagi menjadi dua golongan. Pertama, yang berhasil dikuasai, dihancurkan, dan dikalahkan oleh nafsu sehingga tunduk di bawah perintahnya. Golongan kedua yang berhasil mengalahkan dan mengendalikan nafsunya, sehingga nafsu itu tunduk di bawah perintah dirinya.
Memang, nafsu selalu mengajak untuk melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sementara Allah SWT mengajak hambanya untuk takut kepadanya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyifati nafsu dengan tiga sifat: muthmainnah (tenang), lawwamah (pencela), dan ammarah bis-suu’ (penyuruh berbuat buruk).
Sehingga, baik secara kehidupan social maupun dalam konteks aturan dalam Al-quran bahwa manusia telah diberikan panduan agar mampu mengelola ego dan nafsu nya dengan baik dan benar. Celakanya, memasuki masa pandemic ini justru manusia dengan ego dan nafsunya begitu liarnya melempar opini hingga berperilaku ke publik yang cenderung berdampak negative.
Dampak Post-Truth, Pandemi dan Digital Ocean.
Jika kita coba mereview kembali beberapa tahun terkahir, sebenarnya aktivitas masyarakat Indonesia telah banyak dihabiskan dalam ruang public khususnya dunia maya/ online platform. Salah satu istilah yang sempat viral 5 tahun terakhir adalah Post-Truth. Sudah banyak sumber atau literasi yang membahas apa dan bagaimana perilaku manusia di era post-truth. Salah satunya berdasarkan kamus Oxford, kata post-truth ditempatkan sebagai “Word of The Year” pada tahun 2016 karena kata tersebut begitu banyak digunakan oleh umat manusia, terlebih pada peristiwa terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit).
Pada kedua momen itu, berita hoax (hoaks=bohong) dengan sangat mudah disebarkan kepada masyarakat luas dan mempengaruhi opini publik.
Indonesia sendiri mengalami dampak buruk dari era post-truth.Tanpa mengabaikan penyebaran hoaks pada masa sebelumnya, gempuran informasi hoaks bertaburan di media sosial selama 3-5 tahun terakhir, terutama ketika pilpres 2019 tahun ini. Rakyat terpecah menjadi kubu-kubu yang saling serang, sindir dan lepmar opini ditimeline social media hanya berdasarkan informasi yang dapat dikatakan cenderung belum jelas sumber dan kebenarannya.
Singkatnya, era post-truth adalah era di mana manusia hidup di dalam “kebohongan” dan menganggap hal tersebut tidak lagi sebagai masalah besar. Bisa dikatakan bahwa era post-truth melahirkan suatu informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya yang membuat akal budi manusia kesulitan untuk melihatnya secara jelas.
Ruang publik masyarakat modern yang menjadi tempat manusia hidup tidak lagi kondusif untuk menyingkirkan “kebohongan” dan memeluk kebenaran. Pemahaman era post-truth semakin lama semakin kuat tertanam dalam diri setiap manusia tanpa batas negara ataupun kebudayaan, terlebih karena dibantu penyebarannya lewat media sosial dan internet.
Memasuki era pandemic, dimana segala aktivitas banyak tergantung terhadap peran IT dan digital platform, maka jika dapat diilustrasikan kita berada dalam “Digital Ocean”.
Jika kita kembali lagi ke definisi awal sebagai golongan umat manusia, saat dimana memasuki era post-truth, pandemic dan digital ocean dimana aliran informasi dimedia sosial begitu luasnya, maka kita dapat asumsikan bahwa semakin banyaknya dari kita yang masuk pada manusia golongan pertama, yang berhasil dikuasai, dihancurkan, dan dikalahkan oleh nafsu sehingga tunduk di bawah perintahnya.
Akibat dari ego dan hawa nafsu nya, banyak dari kita yang terseret arus untuk menyebar berita atau informasi yang belum jelas terbukti sumber dan kebenarannya.
Maka, pentingnya nilai tabayyun adalah dengan meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan suatu permasalahan baik dalam perkara hukum, kebijakan dan sebaginya hingga sampai jelas benar permasalahnnya, sehingga tidak ada pihak yang merasa terdzolimi atau tersakit. Tabayyun sangat dibutuhkan di zaman yang penuh fitnah ini. Wallahu’alam
*Penulis merupakan Dosen di Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya.