Dalam pengertian bahasa Indonesa kata wadul berarti mengadu atau mengeluh. Namun apabila mendapatkan tambahan akhiran “an” menjadi wadulan maka maknanya bisa berarti suka mengadu domba. Namun uniknya mengapa domba yang dijadikan diksi untuk mendampingi kata adu atau mengadu. Apa salah domba ?. Ternyata dalam sejarahnya masyarakat kita dalam berbagai kesempatan suka sekali mengadu domba, suatu hewan domestik pada masyarakat agraris. Hewan domba selain sebagai hewan piaraan penghasil daging, namun juga dijadikan sebagai bagian dari kesenangan dan hobi dari seni adu ketangkasan yang dipentaskan dan kemudian berkembang menjadi tradisi dalam masyarakat agraris seperti Indonesia ini.
Wadul dalam pengertian mengaduh atau mengeluh dapat bermakna positif dan negatif, tergantung pada apa konten yang disampaikan dan kepada siapa seseorang menyampaikan aduan. Wadul akan bermakna positif jika konten yang diadukan adalah sebuah kebaikan. Maka ini dapat berarti laporan seseorang kepada orang lain yang lebih tinggi dalam jabatan. Demikian pula kepada siapa “wadul” itu disampaikan. Jika disampaikan kepada Allah, maka hal ini bermakna sangat positif bagi seseorang. Karena memang manusia memiliki kelemahan maka pantaslah manusia selalu memgadukan persoalan yang dihadapinya kepada Allah sebab hanya Allah-lah tempat semua manusia mengaduh dan mengeluhkan setiap permasalahan dan persoalan hidupnya. Bahkan bagi manusia yang tidak pernah dan tidak mengadukan persoalannya kepada Allah Tuhan Semesta alam ini maka mereka dapat dikategorikan sebagai manusia yang sombong yang merasa tidak membutuhkan Allah dalam kehidupannya dan merasa bahwa dirinya mampu menyelesaikannya sendiri. Hal ini tentu sangatlah dilarang dalam agama.
Allah swt mengajarkan pada setiap hambaNya agar manusia yang beriman selalu “wadul, mengadu” ke Allah swt setiap harinya melalui shalat, sebagaimana terungkap dalam bacaan Alfatihah yang dibaca, “iyyaaka na’budu, waiyyaaka nasta’iin”. Sehingga setiap hamba mengucapkan kalimat itu, Allah swt menjawabnya dengan jawaban dalam hadist qudsi :
هذا بيني وبين عبدي، ولعبدي ما سأل
“Ini antaraKu dan antara hambaku. Dan untuk hambaKu apa yang dia minta”.
Hal ini memberikan pengertian bahwa kalimat “iyyaaka na’budu, waiyyaaka nasta’iin” adalah deklarasi seorang hamba yang memiliki kesadaran penuh bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah dan manusia mengabdi kepadaNya saja, tidak terhadap yang lainnya. Kalimat tersebut juga merupakan pernyataan sadar bahwa dirinya adalah seorang makhluk yang lemah dan terbatas sehingga hanya kepada Allah swt sajalah manusia meminta dan mengaduh kan segala urusan. Sehingga masyarakat Jawa kemudian menyatakan dengan ungkapan, “wadulo marang Gusti Allah”.
Namun jika wadul (mengadu, mengeluh) disampaikan kepada manusia maka perilaku ini berubah menjadi bermakna negatif karena manusia tidaklah pantas mengadu dan menyampaikan keluuhannya kepada manusia. Sebab manusia juga memiliki kelemahan dan keterbatasan yang sama. Mengadu kepada manusia sebenarnya memberikan beban tambahan lain kepada orang lain karena mereka sebenarnya juga memiliki persoalan dan permasalahan yang sama dan tidak sedikit. Serta mengeluh pada manusia adalah suatu tindakan yang tidak pada tempatnya bahkan menyalahi komitmen hariannya yang menyatakan “iyyaaka nasta’in” dalam setiap bacaan fatihah yang diucapkannya saat shalat.
Namun jika wadul ditambah akhiran “an” maka menjadi wadulan. Maka pengertiannya akan menjadi suka mengadu domba, maka pada terminologi yang kedua ini, maknanya menjadi negatif. Sebab dalam diksi wadulan ada unsur makna negatif yang kandung didalamnya yaitu unsur fitnah dan ghibah. Bahkan dalam kata wadulan ini memberikan sebuah kesan bahwa si pelakunya (yang suka wadul) adalah seorang yang lemah, tidak berdaya, mudah pesimis, powereless atas potensi diri yang dimilikinya dan suka menebarkan berita jelek, buruk dan negatif.
Orang yang suka wadulan adalah orang yang suka menebarkan berita buruk dengan tujuan untuk mengadu domba antar orang lain yang dia berusaha mendapatkan keuntungan dari dampak yang dihasilkan dari peristiwa itu. Dalam mencapai maksud adu domba itu maka si pelaku melakukan ghibah yaitu membicarakan kejelekan orang lain yang sangat mungkin mengandung fitnah (berita yang tidak seperti pada kenyataannya) dan kemudian menebarkannya pada orang lain dengan maksud agar orang lain berpikiran buruk dan bersikap negatif atas orang yang dimaksud sehingga membencinya. Dengan sikap yang demikian seberapa banyak dosa dan kesalahan yang telah diperbuat oleh orang yang mengadu domba tersebut.
Karena itulah mekanisme cerdas yang disampaikan oleh Allah swt sebagai solusi atas persoalan demikian adalah melalui mekanisme Tabayyun yaitu cross check, menanyakannya langsung persoalan yang dimaksud terhadap orang yang bersangkutan sehingga tidak terjadi salah paham dan berdampak negatif yang lebih buruk. Sebagaimana disampaikan dalam Firman Allah swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. ( Al-Hujurat : 6)
Karena itu jauhilah ghibah, fitnah dan adu domba sebab hal demikian merusak hubungan sosial dan tatanan kemanusiaan yang harmonis. Namun budayakanlah keterbukaan dan tabayyun atas berbagai persoalan yang dipermasalahkan. Jangan mudah menyebarkan informasi apapun baik yang disukainya ataupun tidak disukainya. Menyampaikan informasi atau berita atas diri orang lain sekalipun benar akan menjadi ghaibah karena tidak berada dihadapan orang yang bersangkutan, sementara menyebarkan berita jika tidak benar dengan kenyataannya maka akan menjadi fitnah bagi orang lain. Kedua perbuatan ini termasuk sebuah tindakan dosa yang harusnya dijauhi oleh seorang muslim yang baik. Karena itu, tahanlah omongan, ojok wadulan ‼.
Semoga Allah swt selalu membimbing setiap tindakan kita, semoga Allah swt mengampuni dosa kita dan memberikan kesabaran atas persoalan apapun yang kita hadapi. Semoga Allah swt meridhoi kita. Aamiiiin….
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar