Kanal24, Malang – Konflik militer antara Iran dan Israel yang meletus pada Jumat lalu, 13 Juni 2025 menandai titik kritis baru dalam sejarah geopolitik Timur Tengah. Serangan awal yang dilakukan Israel terhadap ilmuwan nuklir Iran tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional, namun juga memantik ketegangan global yang berdampak luas terhadap stabilitas ekonomi dunia.
Menurut Abdullah, S.Sos., M.Hub.Int., Dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya dan peneliti Pusat Peradaban Islam dan Kajian Timur Tengah UB, melalui wawancara eksklusifnya dengan Kanal24 pada Jumat (20/06/2025) agresi Israel ini melanggar Statuta Roma Pasal 5 dan 8 yang mengatur kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama karena target serangan termasuk warga sipil, yakni para ilmuwan nuklir Iran.
Baca juga:
Hari Terakhir Pendaftaran, Muhammad Faishal Aminuddin Maju Bacadek Fisip UB

“Ini bukan sekadar konflik bilateral. Serangan Israel ke Iran merupakan kelanjutan dari permusuhan ideologis sejak Revolusi Islam Iran 1979, di mana Iran secara terbuka menolak eksistensi Israel sebagai negara penjajah Palestina,” ungkap Abdullah.
Dalam konteks historis, perang antara Israel dan negara-negara Timur Tengah sempat memuncak di era 1956, 1967, dan 1973. Namun sejak itu, Israel lebih sering terlibat konflik dengan kelompok milisi seperti Hamas dan Hizbullah. Kali ini, keterlibatan langsung dengan Iran sebagai negara berdaulat membuka kemungkinan eskalasi militer skala besar yang belum pernah terjadi dalam lima dekade terakhir.
Yang paling mengkhawatirkan adalah dampak terhadap energi global. Iran merupakan salah satu negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia dan termasuk dalam lima besar produsen minyak. Hampir separuh pasokan minyak global melewati Selat Hormuz—jalur vital yang dikontrol Iran. Sejak konflik pecah, Iran dikabarkan telah memberlakukan pengawasan ketat terhadap kapal-kapal yang melintasi selat ini.
“Pengiriman minyak terganggu, harga melambung. Dari target stabil di angka 60 USD per barel, kini harga minyak global sudah mendekati 90 USD. Ini alarm bahaya bagi stabilitas ekonomi dunia,” jelas Abdullah.
Krisis energi ini menjadi tantangan besar bagi negara-negara industri besar seperti AS, Jerman, Perancis, dan Inggris. Ketergantungan pada pasokan minyak dari kawasan Teluk Persia mengancam rantai pasokan energi dan memicu inflasi global.
Baca juga:
FIA UB Gelar Dialog Terbuka Bakal Calon Dekan Periode 2025–2030
Lebih dari itu, konflik ini juga mencerminkan ketegangan antara blok kekuatan global. Iran yang kemungkinan akan didukung oleh Rusia dan China, dapat menciptakan keseimbangan baru menghadapi dominasi AS dan sekutunya. Abdullah menekankan perlunya tata ulang sistem internasional agar lebih adil dan tidak tunduk pada kepentingan segelintir negara kuat.
“Jika PBB dan hukum internasional terus diabaikan, maka dunia akan jatuh ke dalam siklus kekacauan dan kekerasan. Serangan Iran bisa jadi bentuk perlawanan simbolik untuk mengingatkan bahwa dominasi satu kekuatan harus diimbangi demi perdamaian global,” tutupnya. (nid/hil)