Kanal24, Malang – Reformasi kepolisian kembali menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri membentuk dua tim untuk menggodok agenda perubahan di tubuh Polri. Namun, langkah tersebut dinilai masih menyisakan tanda tanya, terutama terkait efektivitas dan keterlibatan masyarakat sipil.
Menanggapi hal tersebut, Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H., Ph.D., Pakar Hukum UB sekaligus Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB), kepada Kanal24 pada Senin (29/09/2025), menegaskan bahwa reformasi Polri tidak cukup dilakukan hanya dalam enam bulan dan tidak boleh berhenti pada tataran simbolik semata.
Baca juga:
RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas 2025, Akademisi UB Minta Pembahasan Transparan
Enam Bulan Bukan Waktu Ideal
Fachrizal menjelaskan bahwa masa enam bulan yang diberikan pemerintah untuk menyiapkan reformasi tidak cukup jika hanya dimaknai sebagai batas akhir. Menurutnya, periode tersebut seharusnya digunakan sebagai tahap awal untuk menjaring aspirasi publik dan memetakan persoalan mendasar di tubuh Polri.
“Kalau dipahami enam bulan titik, itu jelas tidak cukup. Tapi kalau enam bulan ini untuk mendalami problem, menjaring aspirasi, lalu dilanjutkan dengan reformasi jangka panjang, itu baru masuk akal,” jelasnya.
Ia menyoroti berbagai problem yang melekat pada Polri, mulai dari praktik penegakan hukum, rekrutmen, pelanggaran hak asasi manusia, hingga cara aparat menangani demonstrasi.
“Budaya atau kultur di Polri itu sangat mengakar. Itu tidak bisa diubah secara instan, apalagi jika reformasi dilakukan oleh pihak yang juga bagian dari masalah,” tegasnya.
Keterlibatan Sipil Jadi Kunci
Menurut Fachrizal, salah satu kelemahan agenda reformasi saat ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat sipil. Tim bentukan presiden maupun Kapolri dinilai masih didominasi oleh orang dalam kepolisian.
“Kalau tidak ada perspektif dari luar, reformasi hanya jadi formalitas. Harus ada pelibatan organisasi masyarakat sipil seperti KontraS atau ICJR yang sudah lama menaruh perhatian pada penegakan hukum,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Sejak Polri dipisahkan dari ABRI pada tahun 2000, cita-cita reformasi adalah menjadikan kepolisian sebagai institusi sipil. Namun, hingga kini, struktur dan budaya Polri masih meniru pola TNI.
“Struktur ala militeristik masih dipertahankan. Dari pola rekrutmen, jenjang kepangkatan, hingga sistem pendidikan, semuanya mirip TNI. Padahal polisi itu menghadapi masyarakat, bukan musuh negara. Jadi Menpan RB harus terlibat permanen untuk memastikan birokrasi Polri benar-benar sipil,” papar Fachrizal.
Dari “Percuma Lapor Polisi” ke Pengawasan Independen
Fachrizal juga mengkritik RUU Polri yang tengah disiapkan. Menurutnya, draf yang beredar cenderung memperkuat kewenangan Polri, bukan pengawasannya. Hal ini berisiko menambah jurang ketidakpercayaan masyarakat.
“Yang dibutuhkan bukan penguatan kewenangan, tapi penguatan pengawasan. Banyak masyarakat merasa percuma melapor polisi karena laporan tidak ditindaklanjuti. Harus ada lembaga independen di luar Polri yang bisa mengawasi secara efektif,” jelasnya.
Ia mencontohkan berbagai kasus, mulai dari tragedi Kanjuruhan hingga penanganan demonstrasi, yang menunjukkan adanya kultur impunitas. Menurutnya, hal ini tidak akan berubah tanpa mekanisme kontrol eksternal yang kuat.
“Kalau struktur dan kultur masih sama, maka kekerasan dan impunitas akan terus berulang,” ujarnya.
Reformasi Substansial, Bukan Sekadar Komite Baru
Menutup penjelasannya, Fachrizal menilai pembentukan tim atau komite baru tidak akan efektif jika hanya menghasilkan rekomendasi tanpa eksekusi. Lembaga pengawas seperti Kompolnas atau Ombudsman, menurutnya, sering kali hanya memberi saran yang tidak ditindaklanjuti oleh Mabes Polri.
Baca juga:
Bendera One Piece: Dr. Muktiono Tegaskan Tak Ada Pelanggaran Hukum dan HAM
“Yang penting bukan bikin komite baru, tapi memastikan laporan-laporan yang sudah ada dieksekusi. Reformasi Polri adalah kebutuhan dasar untuk menjamin rasa aman masyarakat,” pungkasnya.
Dengan demikian, reformasi kepolisian yang diharapkan publik bukan hanya perbaikan kosmetik, melainkan perubahan substansial yang menyentuh struktur, budaya, hingga pola hubungan Polri dengan masyarakat. Tanpa itu, Polri akan terus menghadapi krisis kepercayaan, sementara masyarakat tetap berada dalam bayang-bayang impunitas aparat. (nid/dpa)