Kanal24, Malang – Kasus pencabutan ID Card Pers Istana milik jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, pada Sabtu malam (27/9/2025) menimbulkan kegaduhan publik. Peristiwa ini berawal ketika Diana melontarkan pertanyaan kritis kepada Presiden Prabowo Subianto di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pertanyaan itu menyinggung program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah disorot publik akibat sejumlah kasus keracunan massal di beberapa daerah.
Tak lama setelah itu, Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden mencabut kartu identitas pers Diana dengan alasan bahwa pertanyaannya dianggap “di luar konteks agenda” yang ditetapkan dalam acara resmi kepresidenan. Tindakan ini segera memantik gelombang kritik dari organisasi pers, akademisi, hingga masyarakat sipil.
Bukan Sekadar Administrasi, Tapi Esensi Kebebasan Pers
Pakar Komunikasi Media dari Universitas Brawijaya, Abdul Wahid, S.I.Kom., M.A., menegaskan bahwa pencabutan ID tersebut tidak bisa dibaca hanya sebagai prosedur administratif. Menurutnya, persoalan ini menyangkut esensi kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
“Saya rasa bukan hanya persoalan administratif tapi juga memberikan makna yang sangat dalam terhadap kebebasan pers di Indonesia. Undang-undang pers sendiri sudah jelas bahwa ketika wartawan melakukan peliputan terhadap sebuah kasus itu tidak boleh dihalang-halangi,” ungkapnya kepada Kanal24 (29/9/2025).
Abdul Wahid menilai bahwa pemerintah, dalam hal ini Istana, seharusnya memahami konteks demokrasi. Prosedur atau agenda resmi tidak bisa dijadikan alasan untuk membatasi jurnalis mengajukan pertanyaan, apalagi terkait program publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Itu bukan berarti prosedur boleh menghilangkan hak publik untuk mengetahui sesuatu,” tegasnya.
Picu Resistensi Publik terhadap Kekuasaan
Lebih jauh, Abdul Wahid menekankan bahwa langkah seperti pencabutan ID jurnalis justru bisa dibaca masyarakat sebagai sikap sewenang-wenang pemerintah. Dalam kondisi sosial-politik saat ini, kata dia, publik semakin kritis dan tidak segan menyuarakan protes.
“Situasinya memang tidak baik-baik saja. Kemiskinan, pengangguran, hingga kontroversi kebijakan ada di media sosial kita setiap hari. Ketika pers dibungkam, masyarakat bisa menilai pemerintah berusaha menutup akses informasi. Itu berbahaya bagi demokrasi,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa reformasi 1998 tidak bisa dilepaskan dari akumulasi resistensi publik, salah satunya akibat pembungkaman pers pada era sebelumnya. Dengan demikian, pencabutan ID pers, meski dianggap sepele oleh pemerintah, bisa memunculkan dampak politik jangka panjang bila diabaikan.

Fungsi Pers: Penjaga Hak Publik
Abdul Wahid juga menegaskan kembali fungsi pers sebagai penjaga hak publik untuk tahu. Wartawan, menurutnya, hanyalah perpanjangan tangan masyarakat dalam menuntut informasi yang layak.
“Ketika jurnalis bekerja maka yang harus diingat pertama kali adalah hak publik untuk mendapatkan informasi yang layak. Jadi ketika seorang jurnalis bertanya kritis, itu bukan sekadar ‘menyudutkan pemerintah’, melainkan menjalankan kewajiban konstitusional,” katanya.
Dalam konteks program MBG misalnya, publik berhak mendapat kejelasan apakah kasus keracunan massal terjadi karena kelalaian, korupsi, atau faktor teknis. “Kalau informasi ditutup, maka yang muncul justru spekulasi, curiga, bahkan amarah masyarakat,” tambah Wahid.
Gelombang Kritik: Dewan Pers, AJI, hingga Akademisi
Pernyataan Abdul Wahid sejalan dengan sikap organisasi pers nasional. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menilai pencabutan ID sebagai pelanggaran serius terhadap UU Pers. Dewan Pers juga turun tangan, meminta klarifikasi dari Istana serta menekankan bahwa pengaturan akses media tidak boleh digunakan untuk membatasi fungsi jurnalistik.
Sejumlah akademisi dari berbagai universitas ternama, termasuk UI, UGM, dan Unpad, ikut bersuara. Mereka melihat kasus ini sebagai sinyal buruk bagi demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo.

Kritik Meluas BPMI Kembalikan ID Pers
Setelah gelombang kritik meluas, Istana akhirnya mengambil langkah mundur. Pada Senin (29/9/2025), BPMI Sekretariat Presiden mengembalikan ID Pers Istana milik Diana dan menyampaikan permintaan maaf. Istana berjanji akan mengevaluasi prosedur agar kejadian serupa tidak terulang.
Reuters mencatat bahwa pemerintah menyadari pencabutan itu menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu, bahkan di mata internasional, karena menyentuh isu fundamental kebebasan pers.
Kasus pencabutan ID Pers Istana ini menjadi uji serius bagi komitmen pemerintah terhadap demokrasi. Pernyataan Abdul Wahid menekankan bahwa masalah ini bukan hanya soal kartu identitas, melainkan menyangkut hak publik, kontrol sosial, dan integritas pers sebagai salah satu pilar demokrasi.
Dengan ID telah dikembalikan, polemik administratif mungkin selesai. Namun, peristiwa ini meninggalkan catatan penting: bahwa kebebasan pers tidak boleh dinegosiasikan. Persoalan publik harus tetap terbuka untuk ditanyakan, dijawab, dan diperdebatkan. Di sinilah kualitas demokrasi diuji, bukan hanya dalam konstitusi, tetapi juga dalam praktik sehari-hari.(Din/Dpa)