Kanal24, Malang – Angka kemiskinan Jawa Timur berhasil ditekan menjadi 9,50 persen atau sekitar 3,876 juta jiwa per Maret 2025. Capaian ini tercatat sebagai yang terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Namun di balik data tersebut, realitas di lapangan masih memperlihatkan kesenjangan dan persoalan serius yang menuntut perhatian lebih.
Data BPS menunjukkan, jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 17.940 orang dibanding September 2024. Bahkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada kuartal I-2025 tercatat sekitar 5 persen year-on-year, melampaui rata-rata nasional. Namun, kondisi masyarakat di sejumlah daerah kantong kemiskinan tetap jauh dari sejahtera.
Kesenjangan ini dibahas dalam diseminasi riset “Analisis Kantong Kemiskinan di 15 Kabupaten Jawa Timur: Faktor Penyebab dan Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan” yang digelar FISIP Universitas Brawijaya (UB) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Timur, Selasa (16/9/2025).

Standar Ukuran Kemiskinan Dinilai Kurang Tepat
Dr. M. Lukman Hakim, peneliti FISIP UB, menyoroti paradoks yang terjadi di sejumlah daerah, seperti Probolinggo dan Sumenep. Meski pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, angka kemiskinan tetap besar. Menurutnya, hal ini tak lepas dari cara pengukuran kemiskinan yang masih kaku.
“Misalnya rumah kayu dianggap miskin dibanding rumah bata, padahal pemilik rumah kayu itu punya lahan dua hektar pohon jati. Kalau asetnya dihitung, pendapatan mereka bisa jauh lebih tinggi dari pekerja formal. Jadi ukuran kemiskinannya tidak selalu sesuai realita di masyarakat,” jelasnya.
Lukman menambahkan, rendahnya tingkat pendidikan di sejumlah daerah, khususnya masyarakat dengan pendidikan SMP ke bawah, juga menjadi faktor utama yang memperparah kondisi kemiskinan meski daerah tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi.

Bantuan Sosial Masih Jadi Instrumen Politik
Sementara itu, peneliti lainnya, Abdul Wahid, M.A, menekankan bahwa meskipun data penerima bantuan sosial sudah relatif baik, praktik di lapangan masih bermasalah. Bantuan kerap dijadikan instrumen politik, terutama menjelang pemilu di beberapa daerah kantong kemiskinan.
“Pekerja di sektor informal jumlahnya besar sekali, tapi pendapatan yang dihasilkan kecil. Program bantuan sosial tetap perlu dilakukan secara periodik, tapi di sisi lain perlindungan pekerja juga harus diperkuat. UMR misalnya, harus dipatuhi bukan hanya oleh usaha besar, tapi juga menengah ke bawah,” ujarnya.
Wahid menekankan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan bantuan. Struktur pekerjaan dan perlindungan tenaga kerja harus menjadi bagian dari strategi penanggulangan kemiskinan.
Tindak Lanjut Hasil Riset
Para peneliti sepakat bahwa program penanggulangan kemiskinan di Jawa Timur perlu dirancang lebih integratif. Jangka pendek bisa berupa respons cepat melalui bantuan sosial, jangka menengah melalui pemberdayaan ekonomi lokal, dan jangka panjang melalui peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lewat pendidikan dan kesehatan.
“Harapan kami, riset ini bisa menjadi salah satu pijakan agar strategi penanggulangan kemiskinan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Idealnya, ini jadi kajian terakhir tentang kemiskinan, karena targetnya tentu bagaimana kemiskinan benar-benar bisa dihapuskan,” pungkas Lukman.(Din/Tia)