Kanal24, Malang – Pembahasan revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) tengah menjadi sorotan publik setelah digelar oleh pemerintah dan DPR RI pada Minggu (28/9/2025). Acara diskusi publik mengenai percepatan pengesahan RUU tersebut mengemuka di Jakarta dengan melibatkan para pengamat, praktisi, serta akademisi. Salah satu suara kritis datang dari Pengamat BUMN sekaligus Direktur NEXT Indonesia, Herry Gunawan, yang menilai revisi undang-undang ini masih menyimpan sejumlah paradoks dan potensi konflik kepentingan.
Herry menegaskan, percepatan pembahasan RUU BUMN tampak lebih diarahkan untuk mengakomodasi perubahan kelembagaan dari Kementerian BUMN menjadi Badan Pusat (BP) BUMN. Namun, menurutnya, perubahan itu tidak otomatis membawa perbaikan tata kelola. Justru, ia melihat ada kecenderungan menambah kekuasaan bagi lembaga baru tersebut.
Baca juga:
Coffee Rider Hadir di Jalan Veteran Malang
“Percepatan pengesahan RUU BUMN ini memperlihatkan hanya ingin mengakomodir perubahan Kementerian BUMN menjadi BP BUMN. Kekuasaan BP BUMN masih seperti Kementerian BUMN sebelumnya, bahkan cenderung bertambah,” ujarnya.
Paradoks dalam Pasal RUU
Dalam paparannya, Herry menyebut terdapat pasal-pasal yang harus dikaji ulang karena menimbulkan kontradiksi. Salah satunya terkait larangan rangkap jabatan. RUU BUMN melarang Menteri dan Wakil Menteri merangkap jabatan di perusahaan negara, tetapi tidak mengatur larangan serupa bagi pejabat Eselon I.
“Banyak pejabat Eselon I yang merangkap sebagai komisaris di BUMN, padahal status mereka penyelenggara negara atau regulator. Situasi ini menimbulkan konflik kepentingan yang bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik,” jelasnya.
Selain itu, perbedaan definisi dan perlakuan terhadap BUMN juga menjadi catatan kritis. Di satu sisi, BUMN didefinisikan sebagai badan privat, namun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetap berwenang melakukan pemeriksaan. Menurut Herry, ketidakselarasan ini memperlihatkan inkonsistensi mendasar dalam rancangan regulasi.
Ancaman terhadap Danantara
Isu lain yang disorot Herry adalah posisi Danantara, lembaga pengelola aset dan investasi negara. Dalam draf RUU, Danantara diwajibkan menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) kepada BP BUMN untuk mendapatkan persetujuan.
“Ini menempatkan Danantara di bawah kendali BP BUMN dan berpotensi melemahkan independensinya,” ujarnya. Ia menambahkan, kondisi tersebut bisa membatasi ruang gerak Danantara dalam mengambil keputusan bisnis penting, termasuk aksi korporasi strategis.
Risiko Jerat Hukum
Lebih jauh, Herry mengingatkan bahwa aturan yang tidak jelas justru akan membebani para pengelola BUMN. Keputusan bisnis yang bersifat strategis dan berisiko kerugian dapat berujung pada tuduhan korupsi.
“Kalau revisi disahkan dalam bentuk seperti sekarang, para pengelola BUMN akan serba sulit. Setiap keputusan bisa diseret menjadi kasus hukum, padahal dunia bisnis selalu mengandung risiko,” paparnya.
Baca juga:
Garuda Tambah 7 Armada Baru Tahun Ini
Perlu Kajian Mendalam
Herry menilai, proses revisi RUU BUMN tidak boleh terburu-buru hanya untuk kepentingan perubahan struktur kelembagaan. Ia menegaskan perlunya kajian mendalam dan pelibatan publik yang lebih luas agar aturan yang lahir benar-benar memperkuat tata kelola BUMN.
“Kalau benar ingin memperbaiki tata kelola, maka pasal-pasal yang menimbulkan paradoks dan konflik kepentingan harus dihapus. Jangan sampai RUU ini hanya menambah kekuasaan tanpa ada pembenahan,” pungkasnya. (nid)