KANAL24, Jakarta – Pemerintah memutuskan penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022. Oleh sebab itulah Kementerian Keuangan sedang menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan Pajak Karbon seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan bahwa Indonesia berkomitmen kuat untuk menanggulangi perubahan iklim. Untuk itu pemerintah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy For Low Carbon Climate Resilience/LTS- LCCR ) di tahun 2050 dan target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
“Berbagai upaya dan komitmen yang diperbarui menunjukan keseriusan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kita perlu mengoptimalisasi seluruh instrumen yang ada termasuk pendanaan APBN maupun swasta. Pemerintah akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon ini,” kata Febrio dalam keterangan tertulis, Sabtu (2/4/2022).
Secara umum, upaya mengatasi dampak perubahan iklim dikelompokkan menjadi aspek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Aspek mitigasi menekankan pada upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), sementara upaya adaptasi perubahan iklim memprioritaskan upaya menurunkan kerentanan iklim (climate vulnerability) dan meningkatkan ketahanan iklim (climate resilience).
Seluruh upaya tersebut membutuhkan dukungan dari sisi pendanaan baik melalui skema belanja pemerintah ( APBN /APBD) maupun sumber-sumber pendanaan lainnya yang sesuai regulasi. Untuk lebih mendorong penguatan kapasitas pendanaan terkait iklim, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang mengatur skema carbon pricing (carbon trading dan carbon offset), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP), pungutan atas karbon seperi pajak karbon dan PNBP , serta mekanisme lainnya.
Pengaturan terkait pajak karbon sendiri diperkuat melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
“Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon,” jelas Febrio. (sdk)