Kanal24, Malang – Rencana pemerintah untuk menambah penerimaan negara melalui sektor pertambangan kembali mengemuka setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka peluang penerapan bea keluar untuk komoditas batu bara mulai tahun 2026. Kebijakan ini mencuat karena pemerintah menilai kontribusi penerimaan dari ekspor batu bara masih belum optimal dibandingkan dengan komoditas lain, sementara kebutuhan fiskal dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan meningkat. Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah memperkuat ruang fiskal serta menata ulang kebijakan energi dan sumber daya alam agar lebih adaptif terhadap dinamika pasar global.
Rencana kebijakan bea keluar batu bara tersebut muncul di tengah situasi pasar yang cukup dinamis. Produksi batu bara Indonesia masih tinggi, sementara permintaan global mulai mengalami penyusutan akibat percepatan transisi energi. Di sisi lain, industri hilir seperti smelter nikel membutuhkan pasokan batu bara dalam jumlah besar dan stabil. Kondisi ini menjadikan pemerintah perlu merancang kebijakan yang tidak hanya berpihak pada penerimaan negara, tetapi juga menjaga keberlanjutan industri, baik yang berorientasi ekspor maupun yang bergerak di sektor pengolahan dalam negeri.
Dalam pernyataannya, pemerintah menegaskan bahwa bea keluar akan diterapkan secara hati-hati dan bertahap. Kebijakan tersebut akan disusun melalui peraturan menteri keuangan dengan mempertimbangkan kondisi pasar serta masukan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah tarif fleksibel, yakni pungutan yang hanya akan berlaku ketika harga batu bara berada di atas ambang keekonomian tertentu. Dengan skema ini, pemerintah berharap tidak menciptakan tekanan berlebihan terhadap pelaku industri dan tetap menjaga daya saing batu bara Indonesia di pasar internasional.
Meski demikian, rencana penerapan bea keluar batu bara tidak terlepas dari potensi konsekuensi bagi pelaku usaha tambang. Margin keuntungan perusahaan diperkirakan dapat tergerus apabila tarif bea keluar diterapkan pada kondisi pasar yang sedang melemah. Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi memengaruhi struktur biaya sebagian pembangkit listrik dan industri pengolahan, terutama bila kenaikan biaya produksi dari tambang berdampak pada harga jual di tingkat hilir. Pelaku industri meminta pemerintah tetap mempertimbangkan stabilitas pasokan energi dan kesinambungan operasional perusahaan sebelum menetapkan tarif final.
Bagi pemerintah, penerapan bea keluar ini dipandang sebagai instrumen penting untuk memperluas basis penerimaan negara. Selain dari royalti dan pajak pertambangan, pungutan ekspor batu bara ini dapat menjadi sumber pendapatan tambahan yang signifikan, terutama ketika harga komoditas sedang tinggi. Kebijakan serupa juga sedang dipertimbangkan untuk beberapa komoditas lain seperti emas, sebagai bagian dari strategi jangka panjang menuju tata kelola sumber daya alam yang lebih komprehensif.
Di tengah pro dan kontra, langkah pemerintah tersebut menunjukkan komitmen untuk melakukan reformasi fiskal dan meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam Indonesia. Tantangannya adalah menemukan titik keseimbangan: bagaimana kebijakan bea keluar dapat meningkatkan pendapatan negara tanpa mengganggu stabilitas industri dan pasokan energi dalam negeri. Pemerintah sendiri menegaskan bahwa komunikasi intensif dengan pelaku industri akan terus dilakukan agar mekanisme yang disusun dapat mengakomodasi kepentingan seluruh sektor terkait.
Jika berhasil diimplementasikan secara tepat, bea keluar batu bara berpotensi menjadi langkah strategis untuk memperkuat ketahanan fiskal sekaligus mendorong transformasi ekonomi nasional ke arah yang lebih berkelanjutan. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kepastian regulasi, transparansi formulasi tarif, serta keselarasan antara kebutuhan fiskal negara dan daya tahan industri tambang dalam menghadapi tantangan global. (nid)









