Kanal24, Malang – Pemahaman tentang pemilih cerdas dalam era digital mengalami perubahan signifikan jika dibandingkan dengan era pemilu sebelumnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Pengamat Politik dari Universitas Brawijaya (UB), Wawan Sobari, S.IP., MA., Ph.D. Sebelumnya, pemilih cerdas dianggap sebagai individu yang mampu menimbang dan memilih calon terbaik berdasarkan informasi yang diperoleh. Namun, dengan perkembangan era digital yang memungkinkan akses terhadap banyak informasi, definisi pemilih cerdas mulai berubah. Pemilih cerdas saat ini adalah mereka yang mampu memilah dan mengelola informasi tentang kandidat dengan baik, sehingga terhindar dari informasi yang menyesatkan.
Pandangan ini disampaikan dalam acara diskusi terbuka yang diselenggarakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) dan Universitas Brawijaya di Gazebo Corner UB pada Rabu (31/5/2023). Diskusi tersebut mengangkat tema “Gerakan Cerdas Memilih: Pemilih Cerdas untuk Pemilu Berintegritas”.
“Pemilih cerdas sering kali diidentikkan dengan pemilih rasional, yaitu mereka yang dapat menghitung cost and benefit-nya sehingga dapat menimbang calon terbaik dan partai terbaik berdasarkan informasi yang dimiliki. Namun, definisi pemilih cerdas saat ini sedikit berubah ketika kita memasuki era informasi digital. Pemilih cerdas saat ini adalah mereka yang mampu mengelola informasi tentang kandidat dan partai dengan baik, bukan pemilih yang mencari jalan pintas,” jelas Wawan.
Wawan juga mengingatkan tentang risiko politik digital dalam era komunikasi politik saat ini. Dominasi praktik narasi digital dalam komunikasi politik memiliki sisi positif dan negatif. Meskipun praktik narasi digital dapat membawa manfaat yang besar, namun juga dapat membahayakan.
“Risiko politik digital saat ini terkait dengan dominasi praktik narasi digital dalam komunikasi politik. Narasi digital memiliki sisi yang sangat baik, tetapi juga dapat menjadi berbahaya karena dapat menjadi toksik. Oleh karena itu, pemilih cerdas harus dapat memilah informasi-informasi toksik yang dapat merugikan,” ujar Wawan.
Lebih lanjut, Wawan menjelaskan bahwa informasi toksik yang dimaksud adalah informasi yang mengandung kampanye hitam dengan data yang tidak benar dan sumber yang tidak valid. Oleh karena itu, dalam era digital saat ini, bahaya politik digital adalah penyebaran misinformasi atau informasi yang menyesatkan dan disinformasi. Pemilih cerdas perlu bijaksana dalam menghadapinya.
Terkait dengan kekhawatiran akan munculnya sikap apatis dalam masyarakat, Wawan menjelaskan bahwa kesadaran individu sangat penting. Namun, perlu diingat bahwa negara mengeluarkan biaya yang besar untuk satu suara, sehingga setiap suara sangat berharga.
Intinya, terdapat korelasi antara pemilih cerdas dan pemilu berintegritas, di mana keduanya saling mendukung.
“Ketika pemilu dijalankan dengan tanggung jawab, dikelola secara profesional, diawasi secara profesional, dan kontestasinya mengedepankan gagasan daripada kebencian atau ketakutan, itu adalah pemilu berintegritas. Pemilih cerdas akan mendukung pemilu semacam itu,” pungkasnya.
Acara diskusi ini juga menghadirkan pembicara Ketua KPU Kabupaten Malang, Anis Suhartini, S.T., dan Ketua Bawaslu Kota Malang, Alim Mustofa, S.Sos., M.AP. (rra)