Pandemi corona virus disease atau Covid-19 telah melululantahkan supremasi berbagai sektor kehidupan, tidak terkecuali dunia pendidikan. Situasi ini memaksa semua sektor untuk beradaptasi lebih cepat dari yang seharusnya. Digitalisasi tidak terhindarkan mengkonversi pola-pola konvensional yang selama ini menstruktur secara mapan. Hari ini saja yang sedianya diperingati sebagai Hari Pendidikan, upacara yang menjadi agenda wajib tahunan pun terkonversi secara virtual. Dunia bergerak dengan peradaban baru. Inilah yang dikatakan dengan new normal.
Dari Otoritas Offline Menuju Online
Pemberlakuan sejumlah sistem berbasis daring selama ini belum optimal. Baik terkait layanan pemerintah dalam kerangka e-government, maupun layanan pendidikan seperti e-learning. Jika diidentifikasi persoalannya, mengarah pada beberapa hal, mulai dari belum memadainya payung regulasi, ketidaksiapan sumber daya manusia yang kompeten berhubungan dengan IT (Informasi dan Teknologi), sampai pada level paradigma klasik yang selalu menginginkan zona nyaman dengan memertahankan atau menghendaki pola-pola lama yang sifatnya birokrasional dan sarat administrative based.
Berbanding terbalik dengan sejumlah instruksi atau himbauan kelembagaan yang implementasinya sering belum sesuai harapan, situasi pandemi justru efektif mengomando perubahan yang sangat signifikan. Layanan pendidikan yang selama ini berdalih tidak siap dengan serangkaian alasan, dipaksa seketika untuk beradaptasi merespon kedaruratan. Maka, tidak heran jika dalam beberapa waktu terakhir ini sejak Covid-19 menyebar, seperti kegiatan belajar mengajar, seminar atau workshop, seketika berubah menggunakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbasis home learning.
Otoritas offline luruh bukan karena sistem yang menghendaki perubahan, tetapi justru karena keadaan. Kondisi inilah sekali lagi yang disebut dengan new normal. Semua pihak mau tidak mau akhirnya mengakrabkan diri dengan perangkat-perangkat pembelajaran online, seperti zoom, google hangouts, google meet, skype, youtube, live instagram, live facebook dan lain-lain. Lantas, pertanyaannya apakah metode pembelajaran yang berubah ini dapat tetap mempertahankan substansi pendidikan? Baik terkait dengan pengembangan basis nilai-nilai juga tansfer of knowledge.
Upaya memertahankan kualitas pendidikan perlu menjadi kerangka berpikir utama seluruh pihak yang terlibat. Tidak elok substansi sharing pengetahuan berubah dengan sekedar menumpuk tugas tanpa pendampingan. Belum lagi beban biaya dan koneksi internet penting menjadi catatan. Aturan tidak bisa parsial, memberikan instruksi tanpa memerhatikan konsekuensi. Setiap peserta didik mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, seyogyanya setiap kebijakan melihat kondisi paling lemah dari pihak yang dikenai kebijakan tersebut. Sehingga, pembelajaran daring dapat diakses dari, oleh dan untuk semua. Mengingat pendidikan untuk kondisi saat ini ditentukan oleh kuota internet atau paket data.
Pandemi dan Hakikat Dasar Pendidikan
Di tengah kemerosotan sendi-sendi kehidupan, selalu menyisakan hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran. Saat protokol kesehatan mengarahkan untuk social atau physical distancing, memang di satu sisi kehidupan menjadi lebih berjarak. Namun, di sisi lain kondisi ini mentimulus terwujudnya solidaritas kemanusiaan. Menemukan kembali hakikat dasar pendidikan menjadi esensi yang berharga di tengah menguatnya diktum-diktum individualisme dan ekonomi modern yang sarat perhitungan untung rugi.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan interaksi dan akumulasi antara nature (faktor bawaaan) dan nurture (faktor pengasuhan). Ki Hajar Dewantara yang sangat konsen menggaungkan pendidikan karakter dengan semboyannya, ing ngarsa sung tulada (di depan memberikan teladan), ing madya mangun karsa (di tengah merumuskan prakarsa atau gagasan), dan tut wuri handayani (dari belakang memberikan dorongan). Sejumlah pemikir pendidikan dunia pun juga menekankan hakikat dasar pendidikan, salah satunya pendidikan pembebasan ala Paulo Freire yang menitikberatkan adanya humanisasi dan kemerdekaan berpikir.
Jika dalam situasi pandemi, pendidikan diarahkan untuk home learning. Sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang aneh. Maria Montessori melalui karyanya Scientific Pedagogy as Applied to Child Edication in the Children Houses, bahwa rumah adalah lingkungan pendidikan utama untuk mengenali karakter diri. Dalam konteks ini, memang rumah dan keluarga di dalamnya merupakan entitas dasar pendidikan. Jadi, saat kondisi pandemi mayoritas aktivitas dirumahkan, pendidikan diarahkan untuk menemukan hal-hal ikhwal yang sifatnya substansial. Pendidikan bukan sekedar daya cipta, melainkan juga terkait olah rasa dan karsa.
Program ‘Belajar dari Rumah’ dan tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2020 yakni ‘Belajar dari Covid-19’ menunjukkan bahwa menghadapi situasi pandemi adalah perang semesta. Kontribusi semua elemen sangat penting untuk menanggulangi krisis ini, termasuk pemuda. Pemuda bukan sekedar kaum rebahan, tetapi agen perubahan. Dalam project research yang dirilis oleh European Comission (2015) menyebut bahwa “youth as actors of change”. Diposisikan sebagai aktor perubahan, tentunya pemuda tidak alergi dengan apa yang dinamakan dengan perubahan itu sendiri.
Saat pandemi, pendidikan dikontrol oleh koneksi internet atau paket data, mendorong para pemuda untuk mengambil inisiatif melakukan literasi-literasi kreatif. Para pemuda diharapkan mempunyai komitmen ilmiah dan berupaya tidak menepikan nalar kritis menghadapi situasi seperti ini. Eksistensi pendidikan haruslah tetap terjaga, para pemuda saatnya bergerak melakukan aksi nyata.
Penulis: Verdy Firmantoro, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi FISIP UI dan Peneliti Pusat Studi Peradaban UB