Kanal24, Malang – Kanal24, Malang – Kekhawatiran mendalam terhadap arah kebijakan pendidikan kedokteran di Indonesia disuarakan secara terbuka oleh civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB). Dalam aksi bertajuk Surat Keprihatinan Guru Besar, para Guru Besar FK UB menyampaikan kritik tajam terhadap berbagai regulasi baru yang dinilai mengancam otonomi akademik, kualitas lulusan, dan integritas sistem pendidikan kedokteran di tanah air. Keduanya menekankan pentingnya pelibatan perguruan tinggi sebagai pelaksana utama pendidikan profesi dokter, serta perlunya evaluasi menyeluruh terhadap intervensi kebijakan yang dianggap terburu-buru dan kurang melibatkan pemangku kepentingan pendidikan secara utuh.
Aksi ini merupakan bagian dari Surat Keprihatinan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang secara terbuka menyampaikan pendapat, kritik, dan usulan terhadap pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terkait arah penyelenggaraan pendidikan kedokteran yang selama ini telah menjadi tanggung jawab utama perguruan tinggi.
Baca juga:
Sekolah Pergerakan Fisip UB Ajak Gen-Z Melek Politik

Pendidikan Tinggi Harus Jadi Wewenang Perguruan Tinggi
Dalam pernyataannya, Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani AR., M.S., Guru Besar UB sekaligus mantan Rektor Universitas Brawijaya, menekankan bahwa pendidikan tinggi, termasuk pendidikan profesi dokter, merupakan urusan perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012.
“Pendidikan itu, terutama pendidikan tinggi, termasuk profesi dan BPJS itu tanggung jawab perguruan tinggi, bukan Kemenkes. Kemenkes itu urusannya pelayanan kesehatan, bukan pendidikan,” tegas Prof. Nuhfil.
Ia menilai bahwa dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi pembiaran terhadap pengambilalihan fungsi-fungsi akademik oleh pihak yang seharusnya tidak memiliki kewenangan, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran di kalangan akademisi.
Suara Akademisi untuk Evaluasi Bersama
Sementara itu, Prof. Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med., Sp.A(K), Dekan FK UB, menjelaskan bahwa suara ini merupakan bentuk tanggung jawab moral civitas akademika atas ketidakjelasan regulasi dan implementasi kebijakan yang baru-baru ini diterapkan.
“Kami sudah berkontribusi maksimal. Sistem pendidikan kedokteran yang dibangun sudah terintegrasi, terakreditasi internasional, dan menghasilkan lulusan mumpuni. Tapi sekarang, kami melihat adanya intervensi yang tidak melibatkan institusi pendidikan secara layak,” ujar Prof. Wisnu.
Ia menyoroti kebijakan yang memungkinkan pembukaan program studi kedokteran di rumah sakit tanpa keterlibatan universitas sebagai institusi pendidikan. Kebijakan ini dinilai mengabaikan prinsip-prinsip akademik, independensi kurikulum, serta keberlanjutan penelitian dan pengabdian.
“Kami ingin mengingatkan, pendidikan kedokteran bukan sekadar pelatihan teknis di rumah sakit. Ini adalah proses akademik yang kompleks dan berbasis riset,” imbuhnya.
Isu Regulasi dan Keprihatinan Etik
Guru besar lainnya, Prof. dr. Mohammad Saifur Rohman, Sp.JP(K), Ph.D., juga menggarisbawahi pentingnya menjaga nilai-nilai etika dalam pendidikan kedokteran. Ia menyampaikan bahwa FK UB selama ini telah membangun sistem pencegahan kekerasan seksual dan menjaga integritas pendidikan sejak awal mahasiswa masuk.
“Tidak ada toleransi terhadap kekerasan seksual dalam pendidikan kedokteran. Kami sudah menyiapkan sistem pencegahan sejak lama, baik di tingkat universitas maupun fakultas. Namun, jangan sampai gara-gara satu kasus, seluruh proses pendidikan diblokir dan merugikan mahasiswa,” jelas Prof. Saifur.
Ia menekankan pentingnya penyelesaian kasus secara adil dan terukur, tanpa mengorbankan pendidikan ribuan mahasiswa yang telah menjalani proses akademik dengan penuh tanggung jawab.
Menolak Generalisasi, Mendorong Evaluasi
Ketiga tokoh tersebut sepakat bahwa niat pemerintah untuk meningkatkan pemerataan tenaga kesehatan adalah baik, namun pendekatannya perlu dikaji ulang. Mereka mengingatkan agar tidak terjadi generalisasi kesalahan, apalagi hingga menimbulkan stigma negatif terhadap institusi pendidikan tinggi yang sudah berjalan dengan baik.
Baca juga:
UB Gandeng Lingnan Education Siapkan SDM Global
“Kami bukan menolak perubahan, tetapi kami menolak pendekatan yang merusak tatanan yang sudah terbukti berhasil. Evaluasi perlu dilakukan bersama, bukan sepihak,” ungkap Prof. Wisnu.
Aksi terbuka ini menjadi momentum penting bagi Fakultas Kedokteran UB untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka dan bermartabat. Civitas akademika berharap pemerintah membuka ruang dialog yang konstruktif dan inklusif dalam merumuskan arah baru pendidikan kedokteran nasional, demi menjaga kualitas, integritas, dan kepercayaan publik terhadap profesi dokter di masa depan. (nid)