Kanal24 – Penerapan power wheeling tidak hanya merupakan bentuk keseriusan Indonesia menuju energi hijau berkelanjutan, skema tersebut diyakini pemerintah dapat meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional.
Hal tersebut disampaikan Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hendra Iswahyudi secara daring dalam diskusi publik bersama Institute for Development of Economics and Finance (Indef), di Jakarta (23/11/2022).
Hendra menyampaikan beberapa poin terkait urgensi atas penerapan power wheeling yang akan diatur dalam RUU Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).
Menurutnya, penerapan power wheeling menjadi sinyal positif bagi pasar global bahwa Indonesia serius mendukung transisi energi hijau sesuai prinsip Environmental, Social, Governance (ESG) kondisi tersebut akan meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional.
“Hal ini mengacu pada pengalaman implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sangat sulit mencapai sukses rasio tinggi sehingga power wheeling dapat menjadi akselerator penerapan energi baru terbarukan,” ungkapnya.
Selain itu, penerapan power wheeling dapat menjadi rencana cadangan apabila PLN tidak dapat menyediakan listrik hijau. Untuk diketahui power wheeling merupakan penggunaan bersama jaringan tenaga listrik bersama antara PT PLN (Persero) dan pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP).
Target Indonesia sebagai negara tujuan utama investasi energi baru terbarukan dan industri produk-produk hijau di ASEAN serta mengantisipasi pajak karbon internasional membuat penerapan power wheeling menjadi penting.
Hendra mengungkapkan power wheeling nantinya ditawarkan kepada pasar yang baru atau pelanggan yang sudah ada dengan kapasitas baru ataupun tambahan seperti kepada perusahaan yang tergabung dalam Science Based Targets (SBT) dan kawasan industri yang ingin menggunakan energi bersih dalam operasionalnya.
Power Wheeling Membebani APBN Hingga Isu Liberalisasi Ketenagalistrikan
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sebelumnya telah merespon penerapan power wheeling tersebut. Indef memandang skema tersebut membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional yang dapat mengganggu kesehatan keuangan negara.
Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef Abra Talattov telah mengatakan bahwa percepatan transisi energi melalui skema power wheeling mengkhianati mandat konstitusi karena sektor ketenagalistrikan adalah sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara.
“Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat,” ungkapnya di Jakarta (ANTARA, 27/10/2022)
Menurutnya, pemerintah sudah melakukan pemanfaatan bersama jaringan listrik bersama swasta sebagaimana telah diatur dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 gigawatt dari target tambahan pembangkit energi baru terbarukan sebesar 20,9 gigawatt.
Pengusulan skema power wheeling menurutnya kurang relevan mengingat saat ini beban negara semakinberat menahan kompensasi listrik akibat kondisi kelebihan pasokan listrik yang terus melonjak.
Ia mengatakan kelebihan pasokan listrik sebesar satu gigawatt saja, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema take or pay bisa mencapai Rp3 triliun per gigawatt.
Penerapan power wheeling juga telah direspon Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi sebagai bentuk liberalisasi kelistrikan yang melanggar UU dan UUD 1945 serta berpotensi memperberat beban rakyat dan APBN (ANTARA, 25/10/2022).
Ia menjelaskan bahwa konsep multi buyers-multi sellers adalah pola unbundling yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.
Selanjutnya regulasi itu diganti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan dengan menghilangkan unbundling.
Perusahaan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) energi baru terbarukan diperbolehkan menjual langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusimilik PLN.
“Tidak diragukan lagi power wheeling dan open source merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa penetapan tarif liberal berdasarkan mekanisme pasar yang tergantung demand and supply.
Menurutnya, skema power wheeling berpotensi menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga30 persen dan permintaan pelanggan non-organik dari konsumen tegangan tinggi hingga 50 persen.
“Penurunan jumlah pelanggan PLN, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN juga dapat membengkakkan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN,” pungkasnya.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio juga telah mengungkapkan kekhawatirannya atas penerapan power wheeling tersebut. Pasalnya pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dikhawatirkan membebani negaraseiring potensi kelebihan pasokan listrik atas realisasi proyek pembangkit 35.000 megawatt (ANTARA, 25/10/2022).
Menurutnya, pemerintah yang telah mencanangkan program 35.000 megawatt perlu mencari jalan keluaryang terbaik, setelah tidak terserapnya pasokan listrik.
Awalnya rencana pembangunan pembangkit 35.000 megawatt tersebut menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen per tahun. Namun, akibat pandemi COVID-19 dan serangkaiandinamika global membuat realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada pada angka 5 persen.
“Pemerintah juga telah menyepakati RUPTL 2021-2030, itu saja yang seharusnya disepakati untukmendorong penggunaan energi baru terbarukan. Kalau menggunakan skema power wheeling jelasmenambah beban negara. Ditambah lagi, di situ juga ada isu liberalisasi,” kata Agus. (sat)