Kanal24, Malang – Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu indikator demokrasi. Pemilu yang bebas dan terbuka mencerminkan partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diantara sistem pemilihan umum terdapat sistem proporsional di mana suatu daerah pemilihan memilih sejumlah wakil.
Sistem proporsional sendiri terbagi menjadi dua sistem yakni sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup. Secara umum sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu di mana pemilih memiih langsung wakil-wakil legislatifnya, sedangkan pada sistem proporsional tertutup pemilih hanya memilih partai politik saja.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia menerapkan kedua sistem pemilu proporsional tersebut. Sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999. Sedangkan sistem pemilu terbuka baru diterapkan pada Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB), Tri Hendra Wahyudi, S. IP., M. IP. juga turut membagikan pendapatnya terkait pro-kontra penerapan sistem proporsional terbuka dan sistem proposional tertutup tersebut kedalam sistem pemilu Indonesia.
Hendra menjelaskan bahwa sistem proporsional tertutup itu adalah model pemilihan dimana pemilih hanya memilih partai politik saja lalu pihak partai akan memilih siapa yang akan duduk di parlemen mewakili partai dengan menggunakan mekanisme nomor urut.
“Jadi (nomor urut) yang paling atas itu kemudian punya hak prioritas untuk menduduki kursi pertama yang didapatkan. Kalau dua atau tiga kursi berarti nomor 1, nomor 2, nomor 3 itu yang dapat kursi.” jelasnya.
Penerapan sistem proporsional tertutup menurutnya, membuat partai politik memiliki otoritas kuat dalam memilih kader terbaiknya untuk menduduki kursi. Namun sistem tersebut digugat banyak orang termasuk calon legisatif (caleg) baru.
“Mereka merasa dirugikan kalau suaranya banyak tapi nomornya ada di bawah itu kemudian bagaimana status mereka, begitu.” tuturnya.
Pergantian penerapan sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka seperti saat ini menurut Hendra bukan tanpa pro-kontra.
“Biasanya partai punya skala prioritas yang ditaruh di (urutan) atas itu biasanya kader senior, kader terbaik begitu. Dengan suara terbanyak, dengan proporsional terbuka, itu menjadi tidak berlaku.” katanya.
Menurut Hendra diterapkannya sistem pemilu proporsional terbuka membuat kader partai yang terdiri atas politisi senior, kader aktif, atau pengurus partai tidak bisa mempengaruhi proses konstestasi di internal partai.
Fenomena yang sering ditemukan adalah kehadiran tokoh lain seperti publik figur, artis atau pengusaha kaya yang ketika mereka masuk partai, mencalonkan diri, dan terpilih. Fenomena ini menurut Wahyu membuat mekanisme kaderisasi menjadi tidak efektif.
“Dengan model proporsional terbuka, calon di internal tidak hanya bersaing dengan caleg lain dari partai lain tapi juga dengan caleg lain di internal partainya sendiri.” jelasnya.
Hendra juga menyoroti onkgos politik yang ia rasa mahal. Penerapan sistem proporsional terbuka menurutnya membuat partai kecil hingga besar sibuk mencari tokoh populer yang kemudian dipilih banyak orang sehingga dapat mengatrol suara partainya. Dalam pembicaraan politik fenomena ini disebut coat-tail effect / efek ekor jas.
Menurutnya, ongkos politik menjadi mahal dikarenakan oleh terbukanya celah politik uang. Caleg tidak lagi khawatir ditaruh di nomor urut paling bawah karena bisa membeli suara.
“Mereka bisa melakukan politik uang dan kemudian di pilih banyak orang, mereka bisa jadi mengalahkan partai-partai yang lain. Nah, inilah yang menjadikan ongkos politik itu menjadi sangat mahal.” tuturnya.
Penerapan sistem proporsional terbuka maupun tertutup tergantung dengan tujuan penerapannya. Sistem proporsional tertutup menurut pengajar Ilmu Politik FISIP UB ini lebih cocok jika tujuannya untuk memangkas politik uang dan memperkuat partai politik. Sedangkan sistem proporsional terbuka dapat diterapkan untuk membuka partisipasi politik yang seluas-luasnya agar orang non-partai bisa terlibat dalam proses pencalonan.
Disinggung terkait politik uang, Tri Hendra menerangkan bahwa istilah politik uang tidak terlalu ilmiah karena didalam pembahasan politik. Politik uang dapat diartikan dalam dua hal yakni politik uang dalam arti food-buying dan politik uang dalam arti turn-out buying.
“Memastikan pemilih untuk hadir di TPS dengan memberikan kompensasi yang diataur sedemikian rupa dengan transparan dan jelas namanya turn-out buying, memastikan setiap orang memilih. Kalau food buying, money politic yang buruk itu, misalnya dapat uang dari caleg dengan tujuan agar datang ke TPS dan memilih caleg itu. Nah yang kita khawatirkan.” jelasnya.
“Maka dari awal saya menyampaikan masing-masing (sistem) punya konsekuensi cuma semua harus dipandu dengan tujuannya, tujuan kita apa, kalau tujuannya menekan, melokalisir politik uang, proporsional tertutup pasti lebih baik daripada proporsional terbuka. Begitu.” imbuhnya. (din)
Baca Juga : Catatan JPPR Terkait Penyelenggaraan Pendaftaran Parpol Calon Peserta Pemilu 2024