Kanal24 – Joko Anwar kembali membuktikan dirinya sebagai sutradara visioner lewat karya terbarunya, Pengepungan di Bukit Duri. Naskah yang ia pendam selama 17 tahun ini akhirnya menyapa layar lebar dengan cara yang tidak bisa dianggap remeh—mengguncang, menohok, dan membuka luka lama bangsa yang belum sepenuhnya sembuh.
Sejak menit pertama, film ini sudah membuat penonton terpaku. Joko Anwar tak main-main saat menyuguhkan dunia distopia yang sangat mungkin terjadi, dengan latar tahun 2027—hanya dua tahun dari sekarang. Keberanian membuka cerita lewat gambaran Indonesia yang porak-poranda akibat masalah sosial, rasial, hingga pendidikan menjadi peringatan bahwa masa depan bisa menjadi suram jika trauma masa lalu terus diabaikan.
Baca juga:
Ini Dia Deretan Artis Isi Suara Karakter Film Jumbo

Yang membuat film ini semakin terasa menyentuh realita adalah pendekatannya terhadap masa lalu yang traumatis. Dengan sangat sadar, Joko Anwar menyisipkan trigger warning untuk memperingatkan penonton tentang kekerasan eksplisit dan ketegangan rasial yang diangkat. Ini bukan film yang nyaman ditonton, tapi memang tidak seharusnya nyaman.
Cerita yang Diperkuat oleh Ketegangan Ruang Tertutup
Jalan cerita dibawa lewat sudut pandang Edwin (Morgan Oey), guru baru di SMA Duri—sekolah bagi para siswa “buangan” yang dianggap tak lagi pantas di institusi lain. Cerita mulai memuncak ketika Edwin menemukan dirinya terkepung di sekolah oleh murid-murid berandalan yang dipimpin Jefri (Omara Esteghlal).
Di sinilah Joko Anwar menampilkan keahlian khasnya: chamber drama. Dengan mengambil latar terbatas di dalam sekolah, ia mengatur intensitas cerita agar tetap membakar. Film ini menjadi semacam The Breakfast Club versi kelam—penuh ketegangan, perlawanan, dan konfrontasi brutal.
Setiap adegan penuh tekanan. Negosiasi antara Edwin dan para siswa, usaha bertahan hidup, serta kilasan masa lalu para karakter membuat suasana semakin mencekam. Bahkan ketika tensi sempat terasa sedikit melambat di pertengahan film, Joko Anwar segera membalasnya dengan babak penutup yang menggigit.
Akhir yang Menjawab, Tapi Tak Menenangkan
Satu hal yang kerap jadi kelemahan dalam karya-karya Joko Anwar sebelumnya adalah bagaimana film berakhir. Tapi di Pengepungan di Bukit Duri, ia berhasil membuktikan bahwa ia telah berkembang. Ending film ini terasa utuh, memuaskan, dan tetap meninggalkan ruang refleksi.
Pertanyaan-pertanyaan yang tertanam sejak awal dijawab dengan cerdas, meski tanpa memberikan kenyamanan. Justru dari ketidaknyamanan itu, film ini membekas. Ia tidak selesai di bioskop—justru baru dimulai saat lampu menyala dan diskusi bermunculan.
Daya ledak film ini tak lepas dari permainan akting para pemerannya. Morgan Oey menampilkan performa terbaik sepanjang kariernya. Sebagai Edwin, ia menyuguhkan figur guru yang rapuh namun penuh tekad. Sementara Omara Esteghlal sebagai Jefri menjadi lawan sepadan—berbahaya, karismatik, tapi tetap manusiawi.
Interaksi keduanya menciptakan ketegangan yang tak hanya bersifat fisik, tapi juga psikologis. Ada dendam, pengkhianatan, dan rasa kehilangan yang terus menggerogoti, menjadikan konflik keduanya sebagai pusat gravitasi film.

Baca juga:
Tiga Film Netflix 2025 yang Wajib Ditonton
Medium Mengingat dan Mengingatkan
Lebih dari sekadar thriller brutal, Pengepungan di Bukit Duri adalah surat cinta yang pahit untuk bangsa ini. Ia memaksa kita menengok luka yang terlalu lama disimpan di bawah permadani. Joko Anwar tampaknya ingin menegaskan: kita tak bisa terus berpura-pura.
Film ini tak hanya menghibur, tapi juga mengedukasi dan mengingatkan. Ia seperti alarm yang berbunyi nyaring di tengah keheningan: kalau kita tak belajar dari masa lalu, bukan tidak mungkin distopia itu akan benar-benar datang.
Dan mungkin, ketika semua sudah selesai, film ini tak akan hanya hidup di layar. Ia akan terus bergema lewat percakapan, debat, dan refleksi panjang setelahnya. (hil)