Kanal24, Malang – Dosen Farmasi Universitas Brawijaya sekaligus Apoteker, Ema Pristi Yunita, S.Farm., M.Farm.Klin., Apt. menanggapi masalah peredaran obat bentuk sirup yang diduga dapat menyebabkan gejala awal dan gejala khas penyakit Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). Ema Pristi Yunita sampai saat ini masih mengikuti up to date berita dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) diduga karena adanya cemaran kimia bahan pelarut dari produk obat sirup yang cemarannya itu sendiri disinyalir berasal dari bahan pelarut sirup.
Cemaran kimia bahan pelarut dari produk obat sirup ini dapat disimpulkan bahwa yang terdampak bukan dari bahan aktifnya. Sehingga, masyarakat tidak perlu khawatir bagaimana dengan bahan aktif Paracetamol karena bahan aktif dengan bahan pelarut atau excipient pada istilah Farmasi berbeda. Sebagai apoteker, Ema mengatakan bahwa untuk membuat produk sirup itu diperlukan salah satunya adalah bahan pelarut, sementara itu untuk bahan aktifnya sendiri bisa untuk obat demam pada anak. Biasanya bahan aktif untuk obat demam adalah Paracetamol.
“Paracetamol sendiri tidak ada masalah, untuk sekarang kan apabila masih ragu menggunakan paracetamol syrup, bisa dialihkan ke paracetamol puyer. Karena memang kalau anak-anak atau bayi demam itu kita tidak bisa sepelekan,” kata Ema kepada Kanal24.
Jika demam pada anak masih tinggi atau tidak membaik dan telah mengikuti terapi non farmakologis seperti kompres hangat hingga mengenakan pakaian tipis pada anak, anak dapat diberikan paracetamol namun bentuk obatnya bisa dalam bentuk puyer. Namun, jika dalam jangka waktu satu sampai dua hari, demam pada anak tidak membaik sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
Seperti yang telah disampaikan oleh Ema bahwa obat sirup yang tercemar adalah bahan pelarut. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) resmi hanya memperbolehkan produksi dan atau registrasi obat sirup yang tidak mengandung pelarut rentan tercemar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Jika dua senyawa ini digunakan secara berlebihan akan merusak ginjal.
Empat bahan pelarut yang dimaksud adalah kepala BPOM adalah propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Empat bahan pelarut ini bisa tercemar sehingga BPOM telah mengeluarkan atau mengumumkan bahwa ada banyak obat cair seperti sirup, suspensi, sirup kering, dan drop. Keempat jenis obat ini ada yang sama sekali tidak menggunakan empat pelarut yang telah disebutkan. BPOM menyatakan bahwa obat-obat yang tidak menggunakan empat bahan pelarut tersebut tidak akan tercemar.
Kemudian, Ema menjelaskan jika BPOM telah memberikan pengumuman kelima, yaitu BPOM sudah melakukan investigasi terhadap data obat. BPOM membagi menjadi 2 pada obat-obatan tersebut, yaitu berdasarkan nomor registrasi ke BPOM untuk melakukan pemeriksaan, lalu ada 102 obat hasil penelusuran Kemenkes pada riwayat anak-anak yang mengalami GGA.
Ema juga menjelaskan bahwa regulasi BPOM tidak pernah mengizinkan EG dan DEG secara langsung bahwa senyawanya digunakan sebagai bahan pelarut obat. Senyawa ini tidak boleh sebagai bahan pembawa obat karena senyawa ini biasanya digunakan untuk mesin. Namun dari empat bahan pelarut tersebut dimungkinkan ada cemaran dari EG atau DEG.
BPOM juga sudah mengeluarkan peraturan yang sesuai dengan standar Farmakope Indonesia maupun Farmakope Amerika. Jadi, BPOM sudah menerapkan standar secara internasional bahwa kadar atau jumlah untuk EG tidak boleh melebihi dari 0,5 MG per kg per harinya, artinya jika memang suatu produk obat cair menggunakan salah satu atau kombinasi dari empat bahan pelarut tersebut, kemudian ada cemaran EG, asalahkan kadarnya tidak melebihi nilai ambang batas tadi masih aman dan tidak akan menyebabkan kerusakan ginjal.
“Namun, BPOM sudah mengumumkan ya, merk obat cair yang mana yang memang ternyata melebihi ambang batas keamanan dari EG-nya itu. Sehingga itu yang menyebabkan toxic atau beracun atau berbahaya pada ginjal,” kata Ema.
Saat ini, kita sedang menunggu kedatangan obat Fomepizole. Menurut Ema, Fomepizole sebenarnya bukan obat untuk gagal ginjal akut. Ia menjelaskan bahwa gagal ginjal akut terjadi dengan berbagai macam penyebab. Namun, saat ini fokus pada Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) yang disinyalir akibat dari cemaran senyawa EG dan DEG.
“Jadi, Fomepizole ini sebetulnya antidotum atau penawar. Obat penawar dari keracunan EG, atau ada juga kalo keracunan metanol, antidotum-nya atau obat penawarnya Fomepizole,” kata Ema.
Namun, jika penyebab gagal ginjal tidak disebabkan oleh akibat keracunan atau toksisitas dari EG tidak akan mempan jika diberikan Fomepizole.
Untuk mengetahui gejala GGAPA akibat keracunan atau toksisitas, selain demam, lemas, dan pusing, juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan produksi urine yang mendadak atau bahkan tidak keluar sama sekali urinnya. Jika hal ini terjadi, orang tua harus waspada jika bayi atau anak tiba-tiba mengalami penurunan produksi urine mendadak atau bahkan tidak keluar urine sama sekali setelah minum obat tertentu. GGAPA ini biasanya terjadi berkisar 1 sampai 12 hari.
Namun, anak atau bayi memiliki riwayat pernah minum obat cair yang oleh BPOM telah dirilis memiliki kandungan EG dan DEG tinggi. Orang tua dapat melihat kapan riwayat anak minum obat tersebut, jika anak sudah minum obat beberapa minggu atau bulan yang lalu dan tidak ada tanda-tanda kerusakan ginjal akut, maka dapat dipastikan bahwa anak tidak mengalami gejala GGAPA. (nid/put)