Kanal24, Malang – Konflik bersenjata yang pecah antara Iran dan Israel pada Jumat, 13 Juni 2025, telah mengguncang tatanan ekonomi global. Tidak hanya menciptakan ketegangan politik di kawasan Timur Tengah, perang ini langsung berdampak pada harga minyak dunia dan mengancam kestabilan energi internasional, terutama melalui potensi terganggunya jalur vital Selat Hormuz.
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap gejolak tersebut dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (17/6/2025). Ia menyatakan bahwa dampak langsung dari konflik ini telah memicu lonjakan harga minyak mentah dunia hingga 9 persen dalam sehari.
Baca juga:
Klinik Bisnis Diskopindag Kota Malang Dorong UMKM Naik Kelas

“Pecahnya perang Israel dengan Iran menyebabkan langsung pada hari pertama harga minyak naik lebih dari 8 persen. Dari kisaran di bawah USD 70 per barel, Brent sempat melonjak hingga USD 78 sebelum terkoreksi di angka USD 75,” jelas Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, lonjakan harga minyak ini bukan sekadar fluktuasi biasa. Efek domino dari kenaikan ini dapat memicu inflasi global, melemahkan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, mendorong kenaikan suku bunga, dan membalikkan arus modal dari negara berkembang ke negara maju.
“Inilah yang sedang akan terus kita hadapi, geopolitik yang terus meruncing,” ujarnya.
Senada dengan itu, ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, juga menyoroti besarnya ancaman ekonomi dari konflik tersebut. Ia menyebut bahwa ketegangan yang berujung pada kemungkinan blokade Selat Hormuz dapat mendorong harga minyak hingga di atas USD 100 per barel.
“Ketika rudal saling menghujam dan Selat Hormuz terancam blokade, harga minyak langsung melonjak. Ini bukan sekadar lonjakan biasa; ini alarm keras bagi negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia,” tegas Syafruddin.
Ia mengingatkan bahwa kondisi ini akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terutama dalam pos subsidi energi, memperlebar defisit transaksi berjalan, dan meningkatkan tekanan inflasi domestik.
“Pemerintah menghadapi pilihan sulit: menaikkan harga BBM atau menanggung ledakan subsidi yang bisa menggerogoti anggaran pembangunan,” jelasnya.
Dari sudut pandang geopolitik, pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada, Irfan Ardhani, juga memberi peringatan. Ia menyebut bahwa perang Iran-Israel membawa risiko besar bagi stabilitas energi dunia karena Selat Hormuz, tempat transit sekitar 20 persen minyak global, menjadi wilayah strategis yang sangat rentan.
“Jika suplai minyak terganggu di Selat Hormuz, dampaknya sistemik dan bisa menjalar ke semua lini perekonomian global,” kata Irfan.
Ketegangan di Selat Hormuz
Selat Hormuz kini kembali menjadi pusat perhatian dunia. Selat sempit yang menghubungkan Teluk Persia dan Laut Arab itu adalah jalur vital bagi ekspor minyak dari negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, dan Irak. Ketika konflik memuncak, perhatian langsung tertuju pada kemungkinan terburuk: penutupan selat tersebut.
Isyarat ini disampaikan oleh Komandan Garda Revolusi Iran (IRGC), Sardar Esmail Kowsari, yang menyatakan bahwa opsi penutupan sedang dipertimbangkan. Namun, Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, menyatakan bahwa Iran tetap bertanggung jawab atas keamanan Selat Hormuz.
“Kami adalah pihak yang sejak lama menjaga keamanan Selat Hormuz. Kami tidak menginginkan ketidakamanan di sana,” ujar Dubes Boroujerdi saat konferensi pers di Jakarta. Namun, ia juga menegaskan bahwa Iran punya kapasitas untuk merespons jika ada pihak yang menciptakan ketidakamanan di kawasan tersebut.
Penutupan Selat Hormuz bukanlah isu baru. Iran secara historis pernah mengancam akan menutup selat ini, seperti pada 2012 sebagai tanggapan atas sanksi ekonomi dari AS dan Eropa. Namun, aksi tersebut tidak pernah benar-benar dilakukan karena penutupan selat juga akan merugikan ekspor minyak Iran sendiri.
Kendati demikian, hanya ancaman penutupan saja sudah cukup untuk mengguncang pasar energi global. Biaya pengiriman meningkat, premi asuransi melonjak, dan kekhawatiran terhadap pasokan energi mencuat, menyebabkan ketidakpastian ekonomi yang lebih luas.
Ironisnya, Israel sebagai pihak lawan dalam konflik ini justru tidak terdampak secara langsung. Pasokan minyak negara tersebut berasal dari jalur Mediterania dan bukan melalui Selat Hormuz, menjadikan posisi mereka relatif aman dari gejolak energi kawasan Teluk.
Dunia dalam Ketidakpastian
Perang Iran-Israel memperlihatkan betapa rentannya stabilitas global terhadap konflik regional. Dampaknya bukan hanya terbatas pada kawasan Timur Tengah, tetapi juga menjalar ke seluruh dunia dalam bentuk lonjakan harga energi, tekanan inflasi, dan ketegangan geopolitik yang merambat.
Bagi Indonesia, yang merupakan negara net importer minyak, situasi ini adalah panggilan untuk menguatkan ketahanan energi nasional dan merumuskan kebijakan fiskal yang adaptif dalam menghadapi ketidakpastian global.
Baca juga:
Difersifikasi Protein jadi Fokus Fapet UB untuk Program MBG
Sebagaimana dinyatakan para ekonom dan pejabat pemerintah, dunia kini berada di persimpangan yang genting. Ketegangan Iran-Israel menjadi pengingat bahwa perdamaian dan stabilitas global bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Ketergantungan pada jalur pasokan strategis dan pasar energi global mengharuskan negara-negara mengambil langkah proaktif, bukan hanya reaktif.
Dengan dinamika geopolitik yang semakin kompleks, Indonesia dan dunia perlu terus waspada, bersiap, dan bersinergi untuk menjaga stabilitas ekonomi dan energi demi kesejahteraan bersama. (nid)