Oleh: Pramaisella Tasya*
Kanal24 – Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo adalah sebuah karya sastra yang tidak hanya mengisahkan perjalanan emosional seorang perempuan, tetapi juga menyingkap realitas pahit tradisi patriarki yang masih hidup di tengah masyarakat. Sebagai pembaca, saya merasa bahwa buku ini lebih dari sekadar sebuah cerita; ia adalah sebuah seruan untuk menyadari ketidakadilan yang dialami perempuan, khususnya dalam konteks adat yang merugikan.
Buku ini mengisahkan Magi Diela, seorang perempuan Sumba dengan impian besar untuk mengembangkan tanah kelahirannya melalui ilmu pertanian yang ia peroleh di perguruan tinggi. Namun, kehidupan Magi berubah drastis ketika ia menjadi korban tradisi kawin tangkap—sebuah praktik adat yang merampas hak perempuan atas tubuh dan hidupnya sendiri. Penculikan dan pemaksaan untuk menikah dengan Leba Ali, tokoh antagonis dalam cerita, menjadi awal dari perjuangan panjang Magi untuk mendapatkan kembali kemerdekaannya.
Sebagai seorang lulusan Psikologi, saya tidak bisa mengabaikan dampak psikologis yang tergambar dalam perjalanan hidup Magi. Trauma yang ia alami, baik fisik maupun mental, tidak hanya berasal dari tindakan kekerasan yang ia terima, tetapi juga dari stigma sosial yang menjeratnya. Magi digambarkan sebagai perempuan yang berani, tetapi perjuangannya untuk melawan cemoohan masyarakat, bahkan keluarganya sendiri, memperlihatkan betapa rumitnya posisi perempuan dalam sistem sosial yang patriarkis.
Dian Purnomo berhasil menulis cerita ini dengan penuh kedalaman dan emosi. Namun, lebih dari itu, ia juga menyelipkan pesan tentang kekuatan pengetahuan sebagai alat perlawanan. Dalam salah satu bagian novel, Magi menggunakan buku sebagai simbol kebebasan, sebuah perlawanan diam-diam terhadap struktur sosial yang menindasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan kesadaran adalah langkah awal yang penting dalam mengubah sistem yang tidak adil.
Sebagai pembaca, saya melihat novel ini sebagai refleksi tajam terhadap realitas yang masih ada hingga hari ini. Melalui kisah Magi, kita diajak untuk mempertanyakan ulang nilai-nilai tradisional yang telah kehilangan relevansinya dalam kehidupan modern. Lebih lanjut, saya juga menekankan bahwa cerita ini tidak hanya berbicara kepada perempuan, tetapi juga kepada laki-laki untuk turut serta dalam perjuangan melawan ketidakadilan gender.
Secara keseluruhan, Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam adalah novel yang kuat dan relevan. Buku ini mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan patriarki adalah tugas bersama. Dengan mengangkat isu-isu seperti kekerasan berbasis gender dan ketidaksetaraan sosial, Dian Purnomo tidak hanya menyajikan sebuah cerita, tetapi juga membuka ruang diskusi bagi pembacanya. Ini adalah bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang perjuangan perempuan dalam masyarakat yang masih terkungkung oleh tradisi usang.
Melalui tokoh Magi Diela, pembaca diajak untuk memahami bagaimana perjuangan meraih kemerdekaan dan harga diri tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga keberanian mental dan keteguhan hati dalam menghadapi stigma sosial. Buku ini menjadi pengingat bahwa perubahan budaya dan sosial membutuhkan kesadaran kolektif, solidaritas, dan langkah nyata untuk menciptakan ruang yang lebih adil bagi semua, baik perempuan maupun laki-laki. (*)
*) Pramaisella Tasya, Alumnus S1 Psikologi Universitas Brawijaya (UB) Angkatan 2020.