KANAL24, Malang – Konvergensi Kebijakan Fiskal dalam Pengelolaan Keuangan Daerah menjadi judul pidato pengukuhan Profesor ke 24 Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan ke 184 Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Mohamad Khusaini, SE., M.Si., MA, rabu (24/6/2020) di Gedung Widyaloka UB.
Dalam pidatonya, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FEB UB itu mengatakan salah satu konsekuensi otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal, yaitu pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan daerah dari pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik, alokasi barang dan jasa publik semakin efisien karena pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih baik tentang masyarakatnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, permasalahan desentralisasi fiskal dapat memunculkan disparitas fiskal antar daerah terutama antara perkotaan dan pedesaan (kabupaten) yang hal ini berimplikasi pada penyediaan pelayanan publik di perkotaan akan lebih baik dari pada di daerah kabupaten yang umumnya masih merupakan daerah pedesaan.
Persoalan baru akan muncul bilamana daerah-daerah yang kaya akan semakin kaya sedangkan daerah-daerah yang miskin tidak bisa mengejar ketertinggalannya. Oleh karena itu, pola pengelolaan fiskal daerah dan desain intergovernmental transfer seyogyanya memperhatikan keterkaitan satu daerah dengan daerah di sekitarnya, sehingga daerah-daerah yang miskin bisa mengejar ketertinggalannya dengan daerah yang maju (catching up effect).
“Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa selama ini implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia telah terjadi proses konvergensi kebijakan fiskal baik aspek pengeluaran pemerintah maupun pendapatan asli daerah, dan juga terjadi interaksi spasial antar daerah dengan karakter yang berbeda antara daerah di Jawa dan di Luar Jawa sehingga dalam jangka panjang ketimpangan fiskal antar daerah diharapkan akan semakin berkurang,” jelas konsultan perencanaan dan keuangan itu.
Lanjutnya, secara umum kecepatan konvergensi daerah-daerah di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah di Jawa, hal ini menunjukkan bahwa masih banyak potensi yang dimiliki oleh daerah-daerah di Luar Jawa yang masih belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan daerah-daerah di Jawa bisa jadi sudah mengalami steady state.
Analisis konvergensi kebijakan fiskal memiliki implikasi sebagai berikut : Pertama, kebijakan desentralisasi fiskal di satu sisi mampu memberikan kewenangan pengelolaan fiskal di daerah, namun di sisi lain juga menciptakan kesenjangan fiskal antar daerah karena potensi daerah yang sangat beragam. Namun demikian, kesenjangan fiskal antar daerah ini terdapat kecenderungan yang semakin lama semakin berkurang kesenjangannya atau dengan kata lain terjadi proses catching up daerah miskin atas daerah kaya.
Kedua, diperlukan perlakuan yang berbeda antar daerah-daerah di Luar Jawa dengan daerah-daerah di wilayah Jawa dalam kebijakan fiskal karena daerah di wilayah Jawa cenderung sudah mencapai tahap steady state. Ketiga, desain intergovernmental transfer diharapkan memperhatikan aspek kewilayahan dari daerah yang ada di sekitarnya.
Terakhir, konsep dan model pembangunan daerah di era desentralisasi fiskal harus dimaknai sebagai “pembangunan regional” yang terintegrasi antar daerah di sekitarnya dan menghilangkan ego sektoral masing-masing daerah, karena dalam kenyataannya terjadi interaksi spasial dalam PDRB dan kebijakan fiskal antar daerah yang berada disekitarnya. Desentralisasi fiskal telah menyebabkan pergeseran dalam paradigma pembangunan di Indonesia.
“Model pembangunan Malang Raya, Gerbang kertosusila, Jabodetabek, dll akan menjadi model pembangunan yang baik di era desentralisasi fiskal. Hal ini juga memerlukan peran penting dari level pemerintahan yang lebih tinggi sebagai koordinator pembangunan lintas wilayah yakni Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat,” tandas Profesor pemilik 5 HAKI tersebut.(meg)