Kanal24 – Malang, Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki andil besar dalam ketidakstabilan iklim. Perubahan iklim pada mulanya memang bersifat alami. Namun aktivitas manusia memicu pemanasan global di mana suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan berubah drastis. Aktivitas ini mulai dari penggunaan bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, dan industri; deforestasi; serta peternakan dan pertanian yang tidak berkelanjutan. Kegiatan yang merusak bumi inilah yang dinamakan dengan antropogenik. Berbanding terbalik dengan bencana alam, antropogenik adalah bencana yang disebabkan oleh kelalaian manusia dalam menjaga lingkungan.
Dalam orasi ilmiah di acara Sidang Terbuka Senat Akademik Pengukuhan Profesor Universitas Brawijaya, akademisi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Prof. Rudianto, M.A. memaparkan bahwa akibat menumpuknya kadar emisi di atmosfer, terjadi pengasaman laut secara global karena kadar oksigen menurun sejak pertengahan abad ke-20. Oleh karena itulah lautan secara global pada kedalaman 0-700 m telah menghangat sejak tahun 1970-an. Di samping itu, dampak utama dari meningkatnya suhu global telah mengakibatkan peningkatan frekuensi kebakaran hutan, badai debu, angin topan, banjir rob, gelombang panas, tsunami, kekeringan, serta tenggelamnya beberapa kawasan pesisir di dunia.
Prof. Rudianto berpendapat salah satu penyebab utama meningkatnya kadar gas rumah kaca di atmosfer dikarenakan adanya degradasi kawasan pesisir. Sebab hutan mangrove di kawasan pesisir memiliki kemampuan menyerap karbondioksida yang lebih efektif dibandingkan dengan hutan hujan dan hutan gambut. Jika hutan mangrove tidak berfungsi sebagaimana mestinya, penyerapan gas rumah kaca terutama karbon juga akan terganggu. Sehingga untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, perlu dilakukannya usaha memulihkan hutan mangrove yang telah rusak berdasarkan prinsip pengelolaan kolaboratif dan partisipatif. Pernyataan senada juga dikemukakan oleh PBB bahwa persoalan degradasi kawasan pesisir seluruh dunia perlu diatasi dengan cara restorasi ekosistem. Maka pada 1 Maret 2019, Majelis Umum PBB mendeklarasikan tahun 2021-2030 sebagai “Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem”.
Demi mendukung agenda pemulihan kawasan pesisir, Prof. Rudianto melakukan penelitian yang bertajuk Restorasi Ekosistem Mangrove Desa Pesisir (REMDP) yang dilakukan di empat wilayah sampel di pesisir Jawa Timur yaitu pesisir Kabupaten Lamongan, Desa Penunggal di Kabupaten Pasuruan, Alas Purwo di Taman Nasional Kabupaten Banyuwangi, dan pesisir Clungup di Kabupaten Malang. Penelitian ini menekankan pentingnya kerja sama antar berbagai pihak agar upaya restorasi ekosistem kawasan pesisir berlangsung secara efektif dan efisien.
Terkait hubungannya dengan proses antropogenik, penelitian Prof. Rudianto mengemukakan pengurangan luas hutan mangrove diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan, perluasan kawasan pertanian dan peternakan, eksploitasi hutan, pembangunan perumahan, industri, dan bendungan. Jika dikaji lebih dalam berdasarkan analisis pendorong (driver analysis), mangrove sebagai salah satu garda terdepan penyeimbang iklim dirusak oleh pertumbuhan penduduk dan alih fungsi lahan terutama untuk budidaya atau tambak. Meningkatnya kepadatan penduduk di wilayah pesisir menjadi faktor signifikan yang mendorong kerusakan pesisir dan deforestasi mangrove. Kegiatan budidaya atau tambak juga menjadi salah satu pemicu deforestasi mangrove selama lima tahun terakhir di provinsi Jawa Timur.
Kemudian, analisis tekanan (stress analysis) menunjukkan bahwa budidaya perikanan di Jawa Timur meningkat hingga tahun 2019 dan diperkirakan akan terus berkembang dikarenakan naiknya nilai ekonomi tambak udang. Selain itu, produksi kayu bulat di tahun 2016 sebanyak 3.229.887 m3 meningkat drastis pada tahun 2019 menjadi 3.912.134 m3. Peningkatan ini didukung dengan adanya penebangan liar yang dilakukan dengan tujuan pembukaan lahan untuk budidaya, industri, pelabuhan, pertanian, kayu bakar, dan pembuatan arang. Aktivitas produksi kayu ini berhubungan erat dengan deforestasi mangrove di provinsi Jawa Timur.
Kerusakan kawasan pesisir dan hutan mangrove merupakan bukti pengelolaan sumber daya alam yang tidak optimal. Lalainya pemerintah dalam mengawasi penegakan hukum terkait pelestarian alam serta abainya masyarakat untuk menjaga keasrian lingkungan tanpa disadari telah mendorong perubahan iklim yang semakin ekstrim. Melalui konsep REMDP ini harapannya, masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan semakin sadar akan pentingnya memelihara kualitas alam, khususnya sumber daya pesisir, demi terjaganya keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Karena pada dasarnya manusia sangat bergantung pada alam. Jika alam dan lingkungan rusak, manusia tidak memiliki tempat lain untuk berpijak. (riz)