Kanal24, Malang – Dampak dari intensifikasi pertanian modern, terutama penggunaan pupuk kimia secara masif, telah menciptakan sejumlah tantangan lingkungan, termasuk degradasi tanah dan emisi gas rumah kaca. Tantangan ini mendorong Prof. Dr. Ir. Setyono Yudo Tyasmoro, MS., Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, untuk mengembangkan konsep inovatif bertajuk “Agro-Sinergi: Optimalisasi Pupuk Organik dan Anorganik untuk Pertanian Berkelanjutan”. Penelitian ini, yang menjadi tema pengukuhan profesornya, menyoroti pentingnya sinergi antara pupuk organik dan anorganik untuk menciptakan sistem pertanian yang produktif sekaligus ramah lingkungan.
Dalam pidatonya, Prof. Setyono menjelaskan bahwa penggunaan pupuk kimia secara berlebihan selama beberapa dekade terakhir tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga meningkatkan emisi gas rumah kaca, seperti N₂O dan CH₄. “Data menunjukkan bahwa sektor pertanian menyumbang hingga 12% dari total emisi gas rumah kaca global. Hal ini mendorong kebutuhan mendesak untuk merancang strategi pemupukan yang lebih efisien dan berkelanjutan,” ungkapnya (25/2/2025).
Keunggulan Kombinasi Pupuk Organik dan Anorganik
Konsep Agro-Sinergi yang dikembangkan oleh Prof. Setyono menitikberatkan pada pemanfaatan bahan organik lokal seperti limbah pertanian, Azolla, dan kotoran hewan, yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik. Strategi ini terbukti meningkatkan efisiensi nitrogen hingga 60%, memperbaiki kesuburan tanah, dan mengurangi emisi N₂O. “Pemberian Azolla segar sebanyak 3–5 ton per hektar dapat mengurangi penggunaan pupuk nitrogen hingga 50%, tanpa menurunkan produktivitas padi,” jelas Prof. Setyono.
Lebih jauh, ia menambahkan bahwa pupuk organik memiliki kemampuan memperbaiki struktur tanah, meningkatkan aktivitas mikroba, dan memperbaiki kapasitas tukar kation. Ini menjadikan kombinasi pupuk organik dan anorganik tidak hanya efisien secara ekonomi tetapi juga sebagai langkah konkret untuk mitigasi perubahan iklim.
Tantangan dan Arah Pengembangan
Namun, penerapan pupuk organik tidak tanpa tantangan. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan ketersediaan bahan organik dalam jumlah besar dan proses dekomposisi yang memakan waktu. “Kita perlu mengembangkan teknologi percepatan dekomposisi bahan organik dan memperluas akses petani terhadap sumber daya ini,” tutur Prof. Setyono.
Ke depan, penelitian ini akan terus berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca melalui optimalisasi pemupukan. Prof. Setyono berharap konsep Agro-Sinergi dapat diterapkan secara luas untuk mendukung pertanian berkelanjutan di Indonesia. “Dengan penerapan teknik ini, kita tidak hanya meningkatkan hasil panen, tetapi juga menjaga keberlanjutan sumber daya alam bagi generasi mendatang,” tegasnya.
Sebagai penutup, Prof. Setyono mengajak semua pihak, mulai dari petani hingga pembuat kebijakan, untuk bersama-sama mendorong adopsi sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan. “Pertanian berkelanjutan adalah kunci untuk menjawab tantangan global di sektor pangan dan lingkungan,” pungkasnya.(din)